"Kami baru saja mengadakan pembicaraan yang positif dengan Menlu Sergei Lavrov kemarin. Dia menyampaikan sebuah inisiatif terkait senjata kimia. Pada malamnya, kami sepakat dengan inisiatif Rusia itu," ungkap Moualem.
Alasan di balik itu, menurut Moualem, karena inisiatif tersebut dapat meredakan kemungkinan Amerika Serikat menyerang Suriah.
Senin kemarin, Lavrov mengusulkan akan melobi pemerintahan Presiden Bashar al-Assad agar menyerahkan semua gudang penyimpanan senjata kimia kepada badan internasional agar diawasi dan kemudian dihancurkan.
"Apabila dengan pengendalian senjata kimia yang dilakukan badan internasional dapat menghindarkan serangan militer ke Suriah, kami akan segera bekerja sama dengan Damaskus," ungkap Lavrov.
Lavrov menambahkan, dalam pertemuan dengan Moualem, dia tidak hanya menyarankan supaya setuju membiarkan badan internasional mengawasi gudang persenjataan kimia, tetapi juga meminta Suriah agar mau bergabung dalam kesepakatan terkait pelarangan penggunaan senjata kimia.
Seorang pejabat Rusia yang tidak mau disebutkan namanya juga optimistis bahwa pemerintahan rezim Presiden Bashar al-Assad akan mengikuti proposal Lavrov. Bahkan, menurut pejabat tersebut, Moualem sebenarnya sudah setuju dengan usulan Rusia.
"Dalam pembicaraan dengan Lavrov pada Senin kemarin di Moskow, Moualem sebenarnya sudah setuju. Namun, kami tidak menentukan tenggat waktu kapan Suriah harus segera menyerahkan seluruh senjata kimianya," ungkap sumber itu.
Masih menurut dia, makna dari saran Menlu Lavrov, bukan membenarkan bahwa rezim Assad memiliki senjata kimia seperti yang selama ini dituduhkan. Namun, gudang senjata kimia yang mereka miliki akan diawasi oleh suatu badan internasional.
"Sama seperti negara lainnya yaitu Rusia dan Amerika Serikat, Suriah juga memiliki dan memproduksi senjata kimia. Bedanya dengan dua negara pertama, Suriah bukan termasuk anggota Konvensi Senjata Kimia (CWC). Namun, mereka termasuk dalam anggota protokol Jenewa tahun 1925 yang melarang penggunaan senjata kimia dalam peperangan," papar sumber tersebut.
Ditanya soal kemungkinan penarikan kapal perang Nikolai Filchenkov dari timur Laut Mediterania apabila perang terbuka akhirnya tidak terjadi, pejabat itu malah mempertanyakan sikap media yang cenderung lebih berpihak kepada AS.
Menurut dia, selama ini, tidak ada satu pun media yang berani menanyakan alasan di balik sikap AS yang berani mengintervensi negara lain dengan kekuatan militer.
"Tapi giliran Rusia mengirimkan satu kapal perang ke daerah dekat Suriah, media seolah-olah mengisyaratkan kami akan memulai peperangan. Padahal, jumlah kapal perang yang kami kirim ke sana tidak sebanding dengan jumlah tentara AS yang dikirim ketika perang Irak dulu," ucapnya tegas.
Pejabat itu hanya kembali menegaskan pernyataan Presiden Vladimir Putin yang tidak menginginkan adanya peperangan. Konflik terkait Suriah, kata dia, sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme Dewan Keamanan PBB.
Sementara itu, saat Rusia optimistis negara sekutunya akan mengikuti usulan penyerahan senjata kimia, seterunya AS, berpikir sebaliknya. Menurut Menlu AS, John Kerry, pernyataan Menlu Lavrov, bukanlah sebuah usulan tapi hanya kalimat retorika.
Dia pesimistis, Assad akan mengikuti usulan Rusia tersebut. Kerry dilansir kantor berita Reuters, akan melihat isi proposal yang ditawarkan oleh Rusia dengan seksama.
Proposal itu, imbuh Kerry, bukan alasan bagi Gedung Putih untuk memperlambat upaya mereka dalam meraih dukungan anggota Kongres melegalkan serangan militer terbatas ke Suriah. (Antara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar