Dicapainya kesepakatan Amerika Serikat dan Rusia pada 14 September 2013 lalu soal penghancuran senjata kimia Suriah membuat Israel terdengar bernapas lega. Banyak orang memperkirakan bahwa jika serangan militer AS terjadi, hal itu akan mendorong Suriah atau sekutunya pentingnya di Libanon, Hizbullah, untuk membalasnya dengan menyerang Israel.
Tak mengherankan jika selama beberapa minggu pada awal September lalu ribuan orang Israel rela menunggu berjam-jam dalam antrean untuk mendapatkan masker gas yang diberikan pemerintah. Sikap warga Israel ini dipicu adanya spekulasi bahwa Suriah akan menyerang tetangganya di selatan ini dengan senjata kimia
Di sisi lain, kesepakatan baru itu juga meningkatkan tekanan pada Israel untuk memusnahkan senjata kimia dan --yang lebih mengkhawatirkan negara ini--senjata nuklirnya. Jika Suriah harus memusnahkan senjata kimia miliknya, logika selanjutnya adalah, mengapa Israel tidak bisa melakukan hal yang sama?
Menteri Luar Negeri AS John Kerry datang ke Israel membahas soal Suriah dengan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu usai pertemuan di Jenewa. Menurut kesepakatan yang didapatkan dalam pertemuan tiga hari di Swiss itu, Suriah akan memberikan daftar semua situs senjata kimia untuk PBB dalam seminggu dan semua senjata tersebut akan dimusnahkan pada pertengahan 2014.
Kelompok yang menentang Presiden Suriah Bashar Assad Suriah mengatakan, pemerintah Suriah sudah memindahkan persediaan senjata kimia yang cukup signifikan ke luar negeri. Harian Libanon, Al-Mustaqbal mengklaim bahwa sekitar 200 truk penuh dengan senjata kimia minggu lalu dikirim ke Irak. Pada saat yang sama, 100 ton bahan kimia dan bom Suriah diyakini sudah didistribusikan ke puluhan situs, yang akan membuat verifikasi dan penghancurannya akan sulit.
Menteri Intelijen Israel Yuval Steinitz mengatakan kepada Radio Angkatan Darat bahwa Israel memiliki "kemampuan yang baik" ketika ada kebutuhan untuk mengikuti jejak senjata kimia pemerintah Assad itu.
Berbicara kepada media setelah pertemuannya dengan Kerry, Netanyahu mengatakan, "Kami mengikuti dari dekat dan mendukung upaya-upaya Anda untuk membersihkan senjata kimia Suriah. Rezim Suriah harus dilucuti dari semua senjata kimia dan itu akan membuat seluruh daerah kami jauh lebih aman," kata Netanyahu.
Namun, ia juga mengatakan, diplomasi itu harus diikuti dengan dengan ancaman militer yang nyata dan itu juga harus dilakukan terhadap Iran. Israel dan Amerika Serikat menuding Iran mengembangkan senjata nuklir, meski pemerintah di Tehran menyatakan nuklir mereka digunakan untuk kebutuhan sipil, bukan militer.
Sejumlah pejabat Israel lain menanggapi dengan nada kurang diplomatis soal sorotan baru terhadap kepemilikan senjata kimia dan nuklir Israel. "Ini adalah cara untuk mengalihkan perhatian dari subjek nyata. Merupakan fakta bahwa Suriah memiliki senjata kimia, telah menggunakan senjata kimia, dan mencoba mengalihkan sorotan ke kami," kata pejabat Israel di Tel Aviv.
Israel selalu bersikap diam ketika bicara soal senjata kimia, apalagi nuklir. Negara ini menandatangani Konvensi Senjata Kimia tahun 1982 tetapi menjadi satu dari dua negara yang tidak meratifikasinya. Selain Israel, negara lainnya adalah Myanmar. "Dalih utama penolakan Israel untuk meratifikasi perjanjian itu adalah karena kemampuan persenjataan Suriah," kata Eitan Barak, profesor hubungan internasional dari Universitas Ibrani kepada Media Line. "Israel mengatakan Suriah adalah negara tetangga, bermusuhan, dengan gudang besar senjata kimia dan kami harus memiliki kemampuan membalas."
Wakil Menteri Luar Negeri Israel Paul Hirschson menguatkan alasan itu dengan mengatakan, "Sayangnya, meskipun Israel menandatangani Konvensi, negara-negara lain di Timur Tengah, termasuk orang-orang yang telah menggunakan senjata kimia baru-baru ini maupun di masa lalu, gagal untuk mengikutinya dan telah menunjukkan bahwa posisi mereka tidak akan berubah walaupun Israel meratifikasi Konvensi."
"Beberapa negara tidak mengakui hak Israel untuk eksis dan terang-terangan menyerukan untuk memusnahkannya. Dalam konteks ini, ancaman senjata kimia melawan Israel dan penduduk sipil bukan bersifat teoritis atau jauh," kata Hirschson kepada Media Line.
Selain senjata kimia, yang lebih mengganggu Israel adalah sorotan terhadap program nuklirnya. "Israel tidak akan menjadi yang pertama memperkenalkan senjata nuklir ke Timur Tengah," kata pejabat di Tel Aviv. Inilah pernyataan umum pejabat Israel selama beberapa dekade terakhir saat ditanya soal program nuklir negara itu.
Meski selalu membantah kepemilikannya, sejumlah laporan lembaga pengawas nuklir memiliki keyakinan bahwa Israel memiliki senjata pemusnah massal itu. Soal senjata kimia Suriah, muncul dalam laporan dinas intelijen Amerika Serikat Central Intelligence Agency (CIA) yang sudah dideklasifikasi (dibuka kepada publik).
Untuk kepemilikan nuklir Israel, salah satunya terdapat dalam Bulletin of the Atomic Scientists, yang dikutip Russia Today beberapa hari lalu. Menurut laporan itu, Israel memiliki 80 hulu ledak nuklir dan punya cukup bahan untuk memproduksi lebih dari 190 senjata nuklir.
Sejumlah pejabat di Tel Aviv, seperti dikutip Jerussalem Post, mengakui bahwa kesepakatan AS-Rusia soal senjata kimia Suriah telah meningkatkan tekanan pada Israel untuk bergabung dengan Nuclear Proliferation Treaty (NPT). Beberapa negara 190 telah bergabung dengan NPT, yang tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran senjata nuklir. Dari negara-negara pemilik nuklir dunia, hanya empat belum bergabung dengan perjanjian itu: India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel.
Eitan Barak mengatakan, Israel menolak untuk menandatangani NPT meskipun ada tekanan dari masyarakat internasional. Namun, soal Konvensi Senjata Kimia, ada kemungkinan Israel akan bersikap lebih fleksibel. "Israel memiliki kepentingan di zona bebas kimia sebagai lawan zona bebas nuklir," kata Eitan Barak. Cara ini akan membuat Israel tetap menjadi negara satu-satunya di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir. (Tempo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar