Perang di manapun hanya menyebabkan kerugian, kesengsaraan, dan kepiluan. Tragisnya lagi, perang menyebabkan masyarakat sipil menjadi korbannya. Itu yang terjadi di Suriah. Untuk mengetahui perkembangan di Suriah, kami menurunkan tulisan di halaman ini dan Halaman 20. (Redaksi)
PERGOLAKAN di Suriah telah berubah arah, dari demonstrasi jalanan yang menuntut reformasi Presiden Bashar al-Assad, telah menjelma menjadi perang sipil yang dipengaruhi banyak aktor utama, semakin jauh dari cita-cita Arab Spring.
Gelora perubahan yang lahir pada Maret 2011 itu masih membubung tinggi, namun demonstrasi damai yang ingin melengserkan Assad itu direspons dengan tindakan brutal militer setempat.
Demonstran yang disokong oleh mayoritas penganut Sunni semakin berubah menjadi peperangan melawan rezim yang berlatar belakang penganut Alawiyah yang menjadi bagian dari Syiah, demonstran berubah menjadi pemberontak yang mendapatkan pasokan senjata selundupan, yang dikumpulkan oleh para pembelot maupun sejumlah anggota militer yang korup.
Kini, hampir 21 bulan revolusi berlangsung, pemberontak sudah menguasai sejumlah kawasan pedesaan dan kota-kota kecil, tulis AFP. Di kawasan Timur Laut Suriah, mereka menguasai Aleppo dan daerah dekat perbatasan Turki, meskipun di sejumlah kota metropolitan masih terjadi pertempuran langsung yang belum kunjung mereda.
Setelah menguasai kota kaya minyak di gurun Timur, pertempuran semakin mendekati Damaskus, pemerintah terus berupaya menahan laju para pemberontak agar “para teroris” yang disokong negara asing itu, tidak bisa menembus ibukota negara.
Syeikh Tawfiq, salah seorang komandan dari kalangan Islam di Kota Aleppo memastikan rezim Assad sudah mulai kehilangan kekuatannya, dan hari-hari inilah permulaan dari hari-hari terakhir di panggung kekuasaannya. Setelah gagal merebut kembali sejumlah kawasan yang direbut pemberontak, kini strategi militer setempat menggunakan pola pertahanan penuh terhadap ibukota, kota besar, jalan-jalan strategis dan tanah dari kaum Alawiyah di sepanjang pantai mediterania.
Banyak Warga Sipil Tewas
Pasukan pemerintah terpaksa melakukan serangan ke sejumlah desa dan kota distrik yang dikuasai pemberontak, tanpa bisa membedakan seberapa banyak warga sipil yang tewas akibat kejadian itu.
Pada 18 Oktober, sebuah bom diletupkan dengan menggunakan pesawat MIG ke arah apartemen di pusat Kota Maaret al-Numan, akibatnya 40 orang tewas termasuk 22 anak-anak tewas karena diimpit reruntuhan.
Memasuki bulan ke-21, the Syrian Observatory for Human Rights mencatat 42.000 orang tewas akibat pertumpahan darah di Suriah, kebanyakan di antara mereka adalah warga sipil. Ratusan ribu warga Suriah kehilangan tempat tinggal, sebagian lainnya memilih hidup sebagai pengungsi di desa seperti Atme untuk mengantre agar bisa menyeberang ke Turki di tengah pencarian solusi konflik yang belum menunjukkan adanya perkembangan berarti.
Komunitas internasional hanya bisa menjadi pemantau atas terjadinya tragedi kemanusiaan itu, karena perbedaan pandangan dalam tubuh DK-PBB. Meskipun menuai kecaman dunia internasional, Presiden Assad masih mendapatkan dukungan kuat Rusia, China, dan Iran.
Peperangan semakin sengit, pemberontak mendapatkan kekuatan baru dari relawan asing yang masuk melalui Turki, negara tetangga yang selama ini telah secara terbuka menginginkan kejatuhan Assad.
Namun dalam enam bulan terakhir, sengkarut konflik di Suriah juga diwarnai dengan semakin menguatnya Islamisasi yang ditandai dengan semakin pentingnya peran kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaeda, al-Nusra Front dalam pusaran konflik ini.
Al-Nusra menjadi kekuatan yang aktif di garda depan, dan bukan tidak mungkin revolusi kali ini akan diambil-alih kelompok yang masuk dalam daftar teroris oleh AS. Tidak hanya itu, pertempuran yang dilakukan oleh kelompok pemberontak juga seringkali dihadapkan pada perilaku korup para pejuang revolusi, khususnya dalam pembentukan komandan batalyon Free Syrian Army, karena kebanyakan di antara mereka adalah tentara yang membelot dari pemerintah.
Sebagian besar anggota pasukan FSA adalah orang Suriah, namun kelompok seperti Al-Nusra telah banyak telah memikat sejumlah kalangan Jihadi dari dunia Muslim. Ada pandangan kebencian terhadap mereka yang non-Muslim karena berkolaborasi dengan rezim di Suriah membuat isyu perjuangan perang sipil di Suriah semakin “seksi” di mata mereka.
Pada Senin, pemberontak yang dipimpin Al-Nusra telah mengusai Markas Syeikh Sulaeman di Aleppo Barat. Dalam sebuah tayangan video, mereka mengajak keterlibatan Muslim untuk berjuang di Suriah.
Militer Suriah, dengan kekuatannya masih mengontrol penuh udara Suriah. Pasukan AU Suriah masih mampu melancarkan serangan udara tanpa perlawanan berarti. Meskipun masih ada dugaan kemungkinan penggunaan senjata kimia yang saat ini menjadi keprihatinan dunia internasional.
Namun pemberontak tidak menyerah begitu saja, AFP menyaksikan langsung saat pemberontak berhasil menjatuhkan dua pesawat Suriah di Darret Ezza. Meski demikian, mereka mengaku hanya memiliki senjata, amunisi yang sederhana, termasuk juga alat komunikasinya, mereka masih membutuhkan senjata bertempur yang lebih canggih.
Strategi mereka dalam melawan tentara militer adalah dengan menggunakan Badan Intelijen Mukhabarat dan milisi Shabiha untuk menjadi garda pemutus akses suplai tentara, mereka berhasil mengisolasi sejumlah pasukan pemerintah di dekat perbatasan Turki dan menguasai daerah-daerah urban. (PelitaOnline)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar