Vietnam Memiliki Kapal Selam Kilo Class Dalam Armada Angkatan Lautnya |
Namun pada 1988, menjelang runtuhnya Uni Soviet sebagai negara komunis, Vietnam mulai melakukan reposisi dalam kebijakan luar negerinya. Dalam Kongres Nasional Partai Komunis Vietnam, kemudian mengeluarkan sebuah resolusi yang menegaskan: Urgensinya untuk memperbanyak teman dan memperkecil musuh. Hal ini secara tersirat Vietnam telah mencanangkan diri untuk tidak lagi secara total berkiblat kepada Rusia. Namun pada saat yang sama, membuka diri untuk menjalin kerjasama strategis dengan Amerika Serikat, Cina, Jepang, Uni Eropa, dan negara-negara dari kawasan lain.
Maka tak heran bahwa sejak 1992, Vietnam mulai menjajagi kemungkinan bergabung dengan ASEAN, dan secara resmi bergabung dengan ASEAN pada Juli 1995. Satu langkah strategis tahap pertama, untuk membuka diri dengan negara-negara adidaya lainnya, yang bahkan berseberangan dengan Rusia, sekutu lama Vietnam pada era Perang Dingin.
Reposisi Vietnam yang mendorong bergabung dengan ASEAN yang notabene terdapat beberapa negara anggota yang merupakan sekutu Amerika dan Inggris seperti Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapoore, maka tak pelak lagi membawa dampak perobahan yang cukup signifikan bagi Vietnam. Karena dengan begitu, Vietnam saat ini harus terlibat dalam perseteruan global dengan format baru, yaitu menjadi sasaran perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Cina.
Tentu saja perobahan haluan politik luar negeri Vietnam menjadi menarik untuk kita cermati bersama. Karena dengan begitu, Vietnam harus mengintegrasikan kebijakan strategisnya di bidang politik, ekonomi dan keamanan nasional, dalam kerangka kerjasama antar negara-negara ASEAN.
Masalah krusial bagi Vietnam saat ini adalah, ASEAN itu sendiri saat ini merupakan sasaran perebutan pengaruh atau bahkan medan perang asimetrik (perang non militer) antara Amerika versus Cina. Mengintegrasikan kepentinga nasional Vietnam dalam bidang politik-ekonomi-keamanan nasional yang selaras dengan ASEAN sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi pembangunan Vietnam, nampaknya jadi agenda strategis bagi Vietnam dalam beberapa tahun ke depan.
Mengingat kenyataan di masa lalu ketika beberapa negara di Asia Tenggara terbelah dan terpecah-belah akibat perang dingin antara Amerika versus Soviet dan Cina, maka bergabungnya Vietnam sebagai anggota ASEAN sebetulnya menarik. Vietnam merupakan negara Indochina pertama yang bergabung pada ASEAN.
Harus diakui langkah strategis Vietnam bergabung dengan ASEAN, telah memberi kontribusi berharga dalam menyatukan kembali solidaritas ASEAN dan negara-negara Indochina lainnya seperti Kamboja dan Laos.
Yang lebih menarik lagi, Vietnam juga berhasil memainkan peran strategis dengan mitra-mitra ASEAN yang termasuk negara adidaya seperti Amerika, Rusia, Cina, Uni Eropa dan India. Dengan manuver Vietnam tersebut, pada kenyataannya Vietnam secara de fakto semakin mendekat dengan kubu Amerika dan Uni Eropa. Apalagi India, bagaimanapun juga masih ada ikatan strategis dengan Inggris, bekas penjajahnya, dalam payung The Common Wealth alias Himpunan Negara-Negara Persemakmuran.
Keterlibatannya dalam persengketaan perbatasan dengan Cina di wilayah-wilayah yang berada di Laut Cina Selatan, mendorong Vietnam termasuk yang secara gigih agar konflik di Laut Cina Selatan dimasukkan dalam agenda konferensi tingkat tinggi ASEAN. Agar bisa tercapai penyelesaian konflik antar negara-negara yang terlibat dalam persengketaan perbatasan dengan Cina di wilayah Laut Cina Selatan. Tentu saja termasuk Vietnam di dalamnya.
Dalam bidang Ekonomi, Vietnam pun semakin pro aktif, sehingga para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri Indonesia, harus semakin waspada. Karena melalui The Hanoi Declaration on Narrowing Development Gaps, ASEAN telah menegaskan akan mengintegrasikan Kamboja, Myanmar dan Vietnam ke dalam skema ASEAN ECONOMIC Community, khususnya di 4 area yang dianggap prioritas yaitu: Infrastruktur, Informasi, Komunikasi, Teknologi dan Pembangunan Sumberdaya Manusia.
Dengan demikian, Vietnam justru harus jadi fokus kewaspadaan nasional Indonesia, karena termasuk yang cukup bersemangat mendukung skema Integrasi Ekonomi ASEAN (AFTA) 2015. Padahal beberapa elemen strategis di Indonesia sendiri, termasuk Global Future Institute, sangat menaruh kekhawatiran bahwa Skema AFTA 2015 merupakan pintu masuk menuju Liberalisasi Ekonomi dan memberi ruang bagi pengaruh kepentingan-kepentingan Asing untuk menguasai perekonomian nasional Indonesia.
Kesiapan Vietnam dalam menyongsong AFTA 2015 ditandai dengan terbentuknya Komite Nasional ASEAN yang langsung berada dalam pimpinan Wakil Perdana Menteri Vietnam. Ini jelas satu indikasi kuat bahwa bagi Vietnam, ASEAN dan AFTA 2015 sudah dicanangkan menjadi gerakan nasional.
Betapa tidak. Komite Nasional ASEAN yang merupakan bagian integral dari Restrukturisasi Birokrasi Vietnam, diberi wewenang untuk mengordinasikan semua institusi yang berhubungan dengan ASEAN atau organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan ASEAN. Selain itu, tentu saja membentuk departemen ASEAN di bawah naungan Kementerian Luar Negeri.
Bisa dimengerti jika Vietnam amat berkepentingan dengan skema AFTA 2015. Saat ini ASEAN merupakan pasar terbesar ketiga bagi Ekspor Vietnam. Berarti ASEAN merupakan 10 persen lebih dari total ekspor Vietnam. Dan pemasok terbesar kedua ke negara tersebut. Praktis ASEAN merupakan 20 persen dari total impor Vietnam.
Karena itu masuk akal jika ASEAN merupakan pilar terpenting dalam politik luar negeri Vietnam. Namun, komitmen Vietnam untuk mengintegrasikan dirinya dalam komunitas global maupun kerjasamanya dengan ASEAN, merupakan sinyal peringatan dini bagi Indonesia.
Dalam konstalasi global saat ini, ketika interest-based networking atau kepentingan berbasis jaringan-jaringan komunitas seperti Overseas Chinese maupun Lobi Yahudi, peran Vietnam di kawasan Asia Tenggara punya potensi besar untuk menjadi aktor penting dalam konteks interest-based networking di masa depan.
Secara etnik yang boleh dikatakan homogen, dengan ikatan nasionalnya yang kuat dan solid seperti terbukti sejak mampu mengusir Perancis pada 1954 dan Amerika pada 1975, bagi Indonesia hanya menghadapi dua kemungkinan: Sekutu dan Mitra potensial, atau musuh dan saingan potensial dalam waktu dekat. (GFI)
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar