Sebuah pertemuan di Malta 25 tahun lalu, Pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev dan Presiden Amerika Serikat George Bush, Sr. mengumumkan akhir Perang Dingin. Kini, seperempat abad kemudian, para politisi dan ahli Rusia memperingatkan tak lama lagi dunia mungkin kembali menghadapi Perang Dingin jilid dua. Berbagai pernyataan peringatan ini semakin gencar terdengar.
Presiden Amerika Serikat George Bush, Sr. dan Pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev berjabat tangan di KTT Malta, 1989. Foto: Getty Images/Fotobank |
“Saya belum siap untuk menyatakan apakah ini edisi Perang Dunia yang baru atau berapa lama periode ini akan berlangsung,” ujar Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov, salah satu pengawas kebijakan Amerika, saat rapat dengar pendapat parlemen di Majelis Rusia. Topik pertemuan itu ialah “Rusia-AS: Gejolak Amarah Sesaat atau Perang Dingin Baru?”
“Tapi, perlu waktu bertahun-tahun untuk bangkit dari situasi akibat sanksi Amerika,” lanjut Ryabkov. Menurut Ryabkov, hubungan Rusia-AS mulai naik-turun jauh sebelum Ukraina dan bukan karena kesalahan Rusia, “Selama ini, keinginan untuk mencabik negara CIS (Persemakmuran Negara-negara Merdeka) dari Rusia selalu menjadi prioritas kebijakan luar negeri AS. Kini, tujuan membentuk kondisi sosial-ekonomi untuk perubahan rezim di Rusia praktis tidak disembunyikan di balik tujuan terbuka memaksa kita mengubah posisi kita mengenai Ukraina,” kata Ryabkov.
Berdasarkan pernyataan terakhir Ryabkov, bisa disimpulkan bahwa Moskow memandang sanksi anti-Rusia dari Amerika sebagai tindakan agresif. Sang wamenlu mungkin menggunakan frase yang lebih diplomatis demi menghindari istilah “Perang Dingin”, yang mengandung konotasi berbahaya. Sebab bagaimanapun, kali ini keadaan sedikit berbeda dari sudut militer.
Ahli Militer dan Analis Politik Satu Suara
“Perang Dingin antara Rusia dan AS belum usai,” ujar Jenderal Besar Yury Baluevsky, mantan panglima Angkata Bersenjata Rusia, dalam sebuah pertemuan para pakar. “Perang Dingin pernah, sedang, dan akan berlanjut. Hal yang berubah hanyalah cara perang ini berlangsung. Kini, perang berlangsung lebih canggih,” terang sang ahli militer. Pernyataan Baluevsky tampak meramalkan konflik militer antara dua negara adidaya tersebut.
“Kini, pasukan bersenjata AS dan NATO umumnya ‘diasah’ untuk melawan Rusia. Esok dan di masa mendatang, mereka akan fokus melawan Tiongkok. Mereka tidak melihat musuh lain. Apakah konflik bersenjata dengan Rusia mungkin terjadi saat ini? Sayangnya, menurut pandangan saya, ya, mungkin. Mungkin hal itu terjadi jika beberapa kondisi terpenuhi,” ujar Baluevsky. Ia menambahkan bahwa kondisi tersebut mencakup krisis ekonomi besar-besaran dalam Rusia, kekuatan vertikal yang melemah, pertumbuhan sentimen antipemerintah dan ketidaksepakatan lain di dalam masyarakat, kemerosotan kemampuan militer Angkatan Bersenjata Rusia, serta hilangnya penahanan diri pada negara-negara yang memiliki senjata nuklir.
Para analis politik juga menyuarakan prediksi pesimis yang serupa. “Hubungan antara Barat dan Rusia berada pada titik terburuk dalam 30 tahun terakhir,” ucap Sergei Rogov, Direktur Institut Studi AS dan Kanada di Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia. Menurut Rogov, kini telah muncul situasi yang bisa membangkitkan Perang Dingin. “Situasi saat ini hanyalah kedamaian yang dingin,” kata Rogov dalam sebuah pertemuan presidium Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia. “Tetapi, tidak mungkin ada pengulangan Perang Dingin yang persis sama. Ini bukanlah bentrokan antara dua sistem, tidak ada kubu sosialis lagi. Terlebih, tidak ada lagi bipolaritas,” tambah Rogov.
Siap Hadapi Konflik
Para wakil Majelis Rusia lebih yakin terhadap situasi ini. “Memang menyedihkan, tapi kita telah memasuki era Perang Dingin baru,” ujar Leonid Kalashnikov, Wakil Pertama Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Majelis Rusia. Menurut Kalashnikov, Perang Dingin abad ke-20 berakar dari sebuah konfrontasi ideologi yang tak bisa didamaikan antara AS dan Uni Soviet. Kali ini, masalahnya bukan ideologi. Masalah saat ini berakar dari konfrontasi geopolitik, penilaian yang berlawanan mengenai peran AS di panggung dunia, serta komitmen untuk liberalisme di AS dan konservatisme di Rusia, bukan dalam hal ekonomi, melainkan dalam hal keluarga dan agama. “Dunia telah menjadi kurang stabil dibanding masa Perang Dunia,” ujar Kalashnikov.
Menurut Ryabkov, resolusi yang baru-baru ini digolkan oleh parlemen AS terkait Rusia telah memberi alasan untuk merasa khawatir. “Saya tidak akan mengesampingkan apapun. Situasi bisa menjadi lebih rumit. Kami akan melakukan segala cara untuk menstabilkan hubungan dengan AS dan mencari dasar yang masuk akal untuk mempertahankan hubungan tersebut. Sayangnya, resolusi yang diadopsi dewan perwakilan rakyat AS adalah sejenis barometer sentimen yang sama sekali berbeda di AS,” kata Ryabkov. (RBTH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar