Trans Pacific Partnership (TPP) atau kemitraan lintas pasifik merupakan sebuah blok ekonomi-perdagangan yang disponsori oleh Amerika Serikat untuk memecah-belah kekompakan 24 negara anggota Asia Paific Economi Cooperation (APEC). TPP merupakan sebuah forum beranggotan 12 negara yang berkomitmen untuk menerapkan Free Trade Agreement di negaranya masing-masing. 12 negara tersebut adalah: Amerika Serikat, Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, dan Singapura.
Kelahiran TPP menarik perhatian publik global karena beranggotakan lintas benua (Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapore, Brunei, Peru, dan Chile). Beberapa negara Asia di dalamnya yang masuk orbit AS ialah Malaysia, Singapura dan Brunei dimana pada satu sisi merupakan Common Wealth atau Negara Persemakmuran bekas jajahan Inggris, sementara sisi lain ada di ASEAN.
Hasil cermatan Global Future Institute (GFI), inti tujuan TPP pertama ialah ingin membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik; dan yang kedua menggagalkan berbagai kerjasama antar negara APEC menuju Integrasi Ekonomi Regional atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan.
Namun ada satu lagi yang paling penting yaitu, AS melalui skema TPP bertujuan untuk menguasai struktur ekonomi dan politik yang sepenuhnya berada dalam kendali mereka. Seraya membendung pengaruh dan perkembangan Cina dan Rusia sebagai dua negara adidaya baru di kawasan Asia Pasifik.
Menyusul berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an, AS telah mencanangkan kelahiran Tata Dunia Baru di bidang ekonomi, yang menganut prinsip untuk memberlakukan pasar bebas dan perdagangan bebas di seluruh dunia. Sehingga menjamin terbuknya pasar dunia bagi ekspor produk-produk unggulan AS ke seluruh dunia.
Itulah sebabnya AS sangat mendorong negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara (ASEAN), untuk menerapkan Free Trade Agreement seperti AFTA 2015. Hal ini tiada lain dimaksudkan agar Indonesia dan negara-negara ASEAN secepatnya memberlakukan sistem pasar bebas dan perdagangan bebas yang menguntungkan korporasi-korporasi global AS dalam berbagai bidang.
AS memang dalam beberapa waktu belakangan ini secara gencar mempromosikan TPP sebagai struktur ekonomi dan perdagangan yang cukup sempurna sebagai kerangka kerjasama dan hubungan antar para anggotanya.
Padahal agenda tersembunyi di balik itu adalah untuk mempercepat ekspansi para pebisnis AS di negara-negara satelitnya di kawasan Asia Pasifik, melalui “akses satu pintu” dalam penguasaan sumberdaya alam dan ekonomi dari para anggota TPP. Skema ini jelas ditujukan untuk melayani kebutuhan ekonomi AS yang sekarang ini sepertinya sedang mengalami krisis berskala nasional.
Dengan kata lain, terkandung di dalam skema TPP ini adalah Free Trade Agreement yang sejatinya merupakan sebuah program meliberalisasikan perekonomian nasional negara-negara anggota yang tergabung dalam TPP. Bisa dimengerti memang. Karena skema TPP dimaksudkan untuk memberikan hak-hak istimewa (privilege) kepada perusahaan-perusahaan Multi-Nasional terkait dengan Investasi mereka di luar negeri, dengan memberikan hak setara (Investors Equal Standing) dengan negara-negara penandatangan yang tergabung dalam blok perdagangan TPP.
Hal itu nampak jelas ketika pemerintahan Presiden SBY melalui Peraturan Menteri ESDM No 1 tahun 2014, memberikan hak istimewa kepada PT Freeport dan Newmont untuk mengekspor tambang emasnya ke luar Indonesia meskipun belum memiliki Pabrik pengolahan (Smelter). Padahal Undang-Undang Mineral dan Batubara No 4 tahun 2009 secara tegas melarang perusahaan tambang baik nasional maupun asing untuk mengekspor bahan mentahnya jika belum memiliki pabrik pengolahan.
Membendung Pengaruh dan Perkembangan Cina dan Rusia di Asia Pasifik
Sisi menarik terkait skema TPP yang merupakan kreasi AS adalah sebagai strategi untuk membendung pengaruh dan posisi strategis Cina di Asia Pasifik. Bahkan di Indonesis sejak menjelang berakhirnya masa pemerintahan SBY, sempat menyepakati sebuah kerjasama ekonomi Indonesia-Cina berdasarkan skema mengikutsertakan Cina melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Bitung, Sulawesi Utara. Tentu saja Washington memandang keterlibatan Cina dalam kerangka KEK sebagai pertanda adanya kebijakan pintu terbuka Jokowi melalui rencana kerjasama Ekonomi Indonesia-Cina yang dalam jangka panjang, kerjasama kedua negara itu bisa dikembangkan dalam kerangka Program Poros Maritim dan Proyek Pembangunan Tol Laut, sehingga perkembangannya bisa dibaca oleh AS sebagai manuver Cina untuk memantapkan strategi global Cina di kawasan Asia Tenggara. Dan Indonesia pada khususnya.
Lantas, apa pentingnya bagi AS untuk membendung pengaruh dan perkembangan Rusia di Asia Pasifik? Dalam perang penguasaan gas di Asia Pasifik, AS nampaknya memang cukup beralasan untuk memandang Rusia sebagai pesaing yang berpotensi menjadi kekuatan baru di Asia Pasifik.
Sejak terjadinya krisis Ukraina, perang gas antara AS versus Rusia semakin meruncing. Rusia tahu betul bahwa kepentingan AS di krisis Ukraina adalah untuk melepas ketergantungan negara-negara Uni Eropa terhadap ekspor gas Rusia. Maka targetnya, dengan politik destabilisasi di Ukraina maka ekspor gas Rusia ke Eropa akan mahal. Alhasil, Eropa akan membeli gas dari AS. Melalui cara ini, negara-negara Eropa tak akan tergantung lagi dengan Rusia. AS lah yang akan mengontrol Uni Eropa. Kira-kira begitulah skenario Paman Sam
Namun untuk mewujudkan skenarionya, satu masalah besar yang dihadapi AS adalah: AS belum mampu memenuhi kebutuhan gas Eropa. Inilah sebabnya AS tidak mau main-main dengan skenario penguasaan gas ini. AS lewat Departemen Energi baru-baru ini sudah menyetujui pengembangan tujuh megaproyek ekspor gas baru untuk mendukung strategi tersebut.
Namun di tengah pelaksanaan skenario penguasaan gas global, AS tidak memperhitungkan manuver bersama yang dilakukan Cina dan Rusia. Untuk keluar dari jeratan sanksi ekonomi dan politik AS dan Uni Eropa, Rusia telah melakukan aliansi dengan Cina. Rusia menandatangani kontrak gas senilai 400 miliar dolar AS dengan Cina pada akhir Mei 2014 lalu. Sehingga kontrak tersebut mengguncang skenario besar AS tersebut.
Dalam kontral sekitar 30 tahun tersebut, menyatakan bahwa Rusia akan ekspor gasnya ke Cina sebanyak 30 miliar cubic meters (BCM) per tahunnya dengan harga 10 per cubic feet.
Bandingkan dengan ekspor gas AS ke Jepang, yang mana ekspor LNG AS ke Jepang yang mencapai 15 dolar AS sampai 20 dolar AS per cubic feet tentu gas AS sangat mahal dan tak layak secara ekonomis.
Krisis Ukraina juga memacu perang AS dan Rusia untuk berburu proyek gas dan renana proyek gas global untuk memastikan suplai gas mereka lancar dan tidak terhambat.
Data yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute memperlihatkan dengan proyek dan potensi gas yang dimiliki saat ini, Rusia mampu mengekspor gas ke Cina secara konstan sebesar 30 bcm per tahun hingga 2020 nanti.
Sedangkan untuk ekspor ke negara-negara Asia, Rusia mengklaim mampu menyediakan sekitar 95 bcm per tahun sampai 2025 nanti. Melalui fakta ini, AS sudah selayaknya berpikir keras untuk memperbesar potensi cadangan gas miliknya sehingga mampu mengimbangi perang gas dengan Rusia di Asia Pasifik.
Masalah krusia yang dihadapi AS sebenarnya adalah soal keekonomia harga gas di setiap proyek gas yang dimiiki AS maupun Rusia. Berdasarkan laporn Goldman Sach pada Juni 2013, dari beberapa proyek gas milik AS yang ada, hanya LNG offshore di Australia milik Chevron’s Gorgon dan Wheatstone yang layak secara ekonomis. Laporan tersebut mengatakan bahwa kedua proyek tersebut break event dengan harga sekitar 13,50 dolar AS sampai dengan 14 dolar AS per 1000 cubic feet-nya.
Proyek LNG lain yang cukup bisa diandalkan AS dan menguntungkan adalah proyek LNG di Mozambik yang diperkirakan break event-nya sekitar harg 11,50 dolar AS per 1000 feet dan di Tanzania sekitar 13 dolar AS per 1000 cubic feet meskipun diduga tingkat kegagalannya cukup besar.
Dalam situasi seperti itu, potensi gas di Asia, termasuk Indonesia, harus bisa dikuasai AS perhitungan kelayakan ekonomisnya bisa bersaing dengan gas Rusia. Inilah alasannya mengapa megaproyek IDD Chevron dan proyek-proyek gas lainnya di Asia sangat penting bagi AS untuk melawan penetrasi pasar gas Rusia. Karena harga gas di Indonesia (dan Asia) masih murah.
Itulah sebabnya AS begitu memandang penting dan mendesak pemerintah Indonesia agar memperpanjang kontrak megaproyek Indonesia Deepwater Developemt(IDD) Chevron di Selat Makasar yang akan habis pada 2020.
PT Chevron Pasifik Indonesia sudah memegang proyek IDD sejak 2008. Proeyek ini menggabungkan empat kontrak kerja sama yaitu Ganal, Rapak, Makasar Strait, dan Muara Bakau. Dalam keempat konsesi tersebut terdapat 5 lapangan yaitu: Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha dan Gandang.
Lapangan Bangka akan beroperasi terlebih dahulu pada 2016. Sementara untuk Gendalo dan Gehem akan beroperasi setelah Bangka, berturut-turut pada 2017 dan 2018.
Namun kalau kita tinjau secara cermat, dalam kerjasama ini sangat merugikan kepentingan nasional Indonesia. Data yang saya peroleh, 25 persen total produksi Proyek IDD dialokasikan untuk dalam negeri, sedangkan sisanya yang 75 persen untuk Cheron. Indonesia akan dapat jatah gas berupa gas alam cair sebanyak 179 kargo dengan rincian sebagai berikut:
Untuk FSRU Jawa Barat 53 kargo (2018-20121)
Terminat Arun 20 h (2016-202karo (2017-2021)
FSRU Lampung 37 kargo (2016-2018)
FSRU Banten 30 kargo (2016-2018)
FSRU Jawa Tengah 39 kargo (2016-2021)
Masalah jadi runyam ketika megaproyek ini terganjal di kasus perpanjangan kontral di Blok Selat Makasar yang habis pada 2020. Dan pihak Chevron meminta kontraknya diperpanjang sampai 2028 dengan alasan optimalisasi manfaat ekonomi.
Padahal, sasaran strategis sesungguhnya AS adalah untuk mengimbangi keunggulan gas Rusia dari segi ketersediaan dan kelayakan ekonomis harga gas. Maka dalam kerang skenario penguasaan gas di Asia Tengggara, fakta bahwa dengan potensi cadangan gas di Selat Makasar sekitar 3,2 triliun cubic feet dengah harga 10 sampai 12 dolar AS per cubic feet, blok Makasar dipandang oleh AS harus bisa direbut bagaimanapun caranya.
Maka bisa dimengerti jika Senator Partai Republik AS John McCain pada Agustus 2014 lalu atas permintaan Chevron yang sudah puluhan tahun beroperasi di Indonesia, berkunjung ke Indonesia dan menemui beberapa pejabat tinggi dan pengusaha Makasar untuk mendesak Indonesia memperpanjang kontrak Blok Selat Makasar. (GFI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar