Selasa, 21 Juni 2016

Cerita Pilot Drone Amerika Serikat Bunuh Militan dari Jarak Jauh


Sudah melihat film Eye in the Sky? Dikisahkan drone yang dikendalikan dari Amerika Serikat, menjadi pengintai kaum militan bahkan meluncurkan rudal yang menghantam sasaran dengan tepat dan mematikan. Hal semacam itu benar-benar terjadi di dunia nyata.

Cerita Pilot Drone AS Bunuh Militan dari Jarak Jauh

Operasional drone AS antara lain berada di pangkalan udara Creech di Las Vegas. Di sinilah pilot terpilih mengendalikan drone yang beroperasi di lapangan untuk membantu kepentingan militer AS. Mantan pilot yang pernah bekerja di sini, Michael Haas, menceritakan pengalamannya.

Ia bekerja antara tahun 2005 sampai tahun 2011, saat AS sangat agresif memburu kaum militan di berbagai negara. Dari depan komputernya, dia telah membunuh target militer AS nun jauh di sana di Afghanistan.


Tugas utama Haas adalah mengontrol kamera, laser dan perangkat untuk mengumpulkan informasi lainnya di drone Reaper dan Predator. Dia juga bertanggung jawab memandu misil Hellfire ke target, begitu misil itu ditembakkan oleh pilot lain di sampingnya.

Semua itu terasa mirip dengan permainan game, ia membunuh musuh dari layar komputer. Namun benar benar ada orang terbunuh dan kadang mengusik nurani meski pemimpin mereka meyakinkan bahwa target pantas dieliminasi karena dianggap teroris dan membahayakan.

"Pernah menginjak semut? Seperti itu kamu dikondisikan soal target, hanya gumpalan hitam di layar. Kamu dibuat berpikir mereka pantas mendapatkannya, mereka di pihak musuh. Kamu harus mengabaikan suara di hatimu yang mengatakan hal ini tidak benar," sebut Haas yang detikINET kutip dari Guardian.



Haas cukup beruntung karena selama dia menerbangkan drone, hanya diperintah menembakkan dua misil untuk membunuh musuh. Mantan pilot lain bernama Brandon Bryant, terlibat langsung membunuh setidaknya 13 orang dalam 5 serangan misil Hellfire di Irak dan Afghanistan.

Pernah dia ditugaskan membunuh tiga orang yang menurut pimpinan, sangat berbahaya karena bergabung dengan tentara Taliban. Namun dari bahasa tubuh mereka, target tersebut terlihat sangat ketakutan sehingga ia sempat meragukan apakah benar mereka kaum militan atau bukan.

Program serangan drone AS memang kontroversial. Lembaga Amnesty International dan Human Rights Watch mengkritiknya karena serangan semacam itu cukup sering menimbulkan korban jiwa dari kalangan sipil.




Namun pejabat AS menyatakan program itu vital untuk membantu militer AS melawan kelompok militan, misalnya Al Qaeda. Yang jelas, tidak semua bertahan menjadi pilot drone, terutama karena alasan psikologis. Seperti Bryant yang memutuskan berhenti tahun 2011 setelah bekerja selama enam tahun.

Dia sempat diberitahu berapa jumlah korban yang jatuh akibat misi drone, di mana dia termasuk yang terlibat dalam serangan. Jumlahnya ternyata mencapai 1.626 orang. "Hal itu membuat perutku sakit," sebutnya.

Tetap saja, kecanggihan drone dianggap sangat efisien untuk menghancurkan musuh dan meminimalisir korban dari militer AS karena dikendalikan dari jarak jauh. Dalam survei oleh lembaga Pew, sebanyak 61% warga AS mendukung program drone.  (Detik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar