Rachmawati Soekarnoputri, putri mantan Presiden RI Soekarno, mengumumkan rencana memberikan penghargaan Soekarno Award, bagi pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un, pada 30 Juli 2015 lalu.
Ketua Yayasan Pendidikan Soekarno dan pendiri Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korut, itu menilai Jong-un terbukti konsisten melawan imperialisme, sejalan dengan pemikiran kakeknya, Kim Il Sung.
Gigihnya Kim Jong Un melawan imperialisme, disebut Rachmawati juga sesuai dengan pemikiran ayahnya, seorang anti neo-kolonialisme (nekolim) yang membuatnya mendapat tudingan diktator dari Barat.
"Rachmawati adalah putra Soekarno, diktator brutal Indonesia yang digulingkan pada 1960an," tulis laman Huffington Post, dalam laporan situs berita Amerika Serikat (AS) itu pada Selasa, 4 Agustus lalu.
Respons Rachmawati seolah menjawab tuduhan media AS itu. "Soekarno juga dituduh diktator kejam yang melanggar HAM, tapi ini terbukti sebaliknya sejalan dengan waktu," kata putri ketiga Soekarno itu.
Pada laporan disebut Rachmawati membela keputusannya memberi penghargaan bagi Jong Un, menyebut kritik sebagai "propaganda Barat" dan kecurigaan tentang catatan kejahatan HAM Korut tidak terbukti.
"Tuduhan tentang pelanggaran HAM tidak benar. Itu semua hanya propaganda Barat. Negara-negara Barat itu senang memberi label buruk pada Korut," kata Rachmawati, yang dikutip Huffington Post.
Reaksi Atas Pemberian Penghargaan
Kelompok-kelompok HAM dan banyak pemerintahan di seluruh dunia, berulangkali menyampaikan kritik dan kecaman pada pemimpin Korut, bahkan sejak sebelum Kim Jong Un meneruskan kekuasaan dari ayahnya, Kim Jong Il.
Penghargaan baginya, jelas menimbulkan reaksi negatif, banyak yang mengernyitkan dahi karena heran, atau mengangkat alis karena terkejut. "Ini lelucon?" tulis banyak netizen, yang menanggapi berita pemberian penghargaan.
Dianggap aneh penghargaan itu datang dari Indonesia, sementara Pelapor Khusus PBB untuk HAM di Korut yang juga berasal dari Indonesia, Marzuki Darusman, dalam laporannya pada Dewan Keamanan PBB, menyebut rezim Kim bersalah melakukan pidana kemanusiaan.
Kabar penghargaan bagi Kim Jong Un menjadi perhatian banyak media internasional. Memicu reaksi dari netizen, namun tidak ada tanggapan resmi dari pemimpin atau pejabat pemerintahan, dari negara manapun.
Mungkin penghargaan itu dinilai tidak akan berpengaruh, bahkan tidak cukup bergengsi, sehingga tidak penting untuk mendapat tanggapan, walau ada beberapa nama populer yang termasuk dalam daftar penerima Soekarno Award.
Beberapa nama antara lain Mahatma Gandhi, simbol gerakan anti kekerasan terbesar di abad ke-20. Kemudian Aung San Suu Kyi, penerima banyak penghargaan internasional, termasuk Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991.
Gandhi tidak pernah mendapat Hadiah Nobel Perdamaian, walau dinominasikan pada 1937, 1938, 1939, 1947 dan terakhir beberapa hari sebelum tewas dibunuh pada Januari 1948.
Pantaskah Kim Jong Un Mendapat Penghargaan?
Kim Jon Un seorang diktator. Pemimpin negara yang rakyatnya didera kelaparan, keterbelakangan. Pelaku kejahatan kemanusiaan yang banyak mengeksekusi rakyatnya sesuka hati. Pantaskah dia menerima penghargaan?
Dikutip dari laman nobelprize.org, banyak pertanyaan dilontarkan, tentang mengapa Gandhi tidak memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian. "Apakah anggota komite tidak dapat mengapresiasi pergulatan memperoleh kemerdekaan di antara orang-orang non-Eropa?"
"Apakah anggota komite Norwegia, mungkin takut untuk memberikan hadiah, yang mungkin mengganggu hubungan negaranya dengan Inggris?" Tidak pernah ada jawaban resmi, tentang tidak diberikannya Hadiah Nobel Perdamaian bagi Gandhi.
Faktanya memang Gandhi memimpin bangsa India memperoleh kemerdekaan dari Inggris, bahkan dia melakukannya dengan sebuah gerakan anti-kekerasan yang menginspirasi dunia.
Aung San Suu Kyi meraih Hadiah Nobel Perdamaian yang bergengsi. Tapi tidak kalimat terucap dari tokoh oposisi Myanmar itu, tentang diskriminasi terhadap orang-orang minoritas Rohingya di negaranya.
Bungkamnya Suu Kyi jadi perhatian, ketika ribuan Rohingya terapung di laut. Suu Kyi diduga sengaja diam agar popularitasnya tidak jatuh, jelang digelarnya pemilu Myanmar.
AS terlibat perang di tujuh negara dalam masa pemerintahan Presiden Barack Obama. Pantaskah presiden pertama kulit hitam AS itu memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian pada 2009? (VivaNews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar