Pakar Pertahanan percaya bahwa Australia akan menghadapi tekanan untuk bergabung dengan patrol maritim yang dipimpin Amerika Serikat (AS) ketika ketegangan di Laut China Selatan meningkat.
AS telah mengirimkan rudal perusak untuk menantang batas teritorial 12 mil laut yang diklaim China di sekitar pulau buatan mereka di atas perairan yang tengah disengketakan.
Langkah ini dilakukan untuk memancing kemarahan Pemerintah China, yang baru-baru ini menyatakan bahwa pihak mereka tidak akan mengizinkan negara manapun untuk melanggar wilayah mereka di kepulauan Spratly.
Patroli itu dilakukan hanya beberapa minggu menjelang serangkaian KTT Asia-Pasifik yang berencana dihadiri Presiden AS Barack Obama dan Presiden China Xi Jinping, pada paruh kedua November.
Seorang pejabat pertahanan AS mengatakan, misi itu menandai awal dari serangkaian tantangan atas klaim teritorial China.
Pakar pertahanan dari Institut Lowly, Euan Graham, mengatakan, Australia akan segera dihadapkan dengan tekanan untuk bergabung dengan AS dalam patroli maritim di Laut China Selatan.
"Ini benar-benar akan terjadi dalam beberapa minggu, jika tak lebih lama lagi, kehadiran pasukan udara dan laut AS terus menerus di sekitar pulau-pulau itu, di mana beberapa sekutu mungkin akhirnya diminta untuk ambil bagian," kata Dr Euan.
Profesor Leszek Busynki dari Kampus Keamanan Nasional, Universitas Nasional Australia (ANU), sepakat akan hal itu.
"Itu tak akan berakhir, hal itu akan berlangsung terus-menerus ... akan ada lebih banyak tekanan kepada Australia untuk terlibat dalam misi AS," ujarnya.
Menteri Pertahanan Australia, Marise Payne, telah mengeluarkan peringatan kepada China bahwa Australia akan terus bekerja sama dengan AS dalam urusan keamanan maritim.
Dalam sebuah pernyataan tertulis, Menteri Marise mengatakan, walau Australia tak terlibat dalam patroli saat ini, pemerintahannya sangat mendukung kebebasan navigasi, termasuk di Laut China Selatan.
"Australia memiliki kepentingan sah dalam pemeliharaan perdamaian dan stabilitas, menghormati hukum internasional, perdagangan tanpa hambatan dan kebebasan navigasi dan udara di atas Laut China Selatan," jelasnya.
"Sekitar 60% dari ekspor Australia melewati Laut China Selatan,” terangnya.
Ia menyambung, "Australia akan terus bekerja sama dengan Amerika Serikat dan mitra regional lainnya dalam hal keamanan maritim."
Dalam sebuah pernyataan, pekan ini, Menteri Luar Negeri China, Lu Kang, mengatakan bahwa kapal AS "secara ilegal memasuki" perairan dekat kepulauan itu "tanpa menerima izin dari pemerintah China".
Pulau buatan China khawatirkan AS
Terumbu Subi dan Mischief tadinya terendam saat gelombang pasang datang, sebelum China akhirnya memulai proyek pengerukan besar-besaran untuk mengubah daerah itu menjadi pulau-pulau pada tahun 2014.
China telah mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan-tempat di mana lebih dari 5 triliun dolar (atau setara Rp 50 biliun) perdagangan dunia lewati setiap tahunnya –di tengah klaim saingan yang diajukan Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Taiwan.
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, batas 12 mil-laut tak bisa diatur di sekitar pulau buatan yang dibangun di atas terumbu karang yang terendam.
Pejabat Pentagon mengatakan, Amerika Serikat secara rutin melakukan operasi kebebasan navigasi di seluruh dunia untuk menantang klaim maritim yang berlebihan.
Washington khawatir, China telah membangun pos-pos dengan tujuan memperluas jangkauan militernya ke Laut China Selatan.
China mengatakan, pulau-pulau itu akan memiliki kegunaan utama sipil serta "tujuan pertahanan yang belum ditentukan".
Foto udara menunjukkan pembangunan tiga lapangan terbang di kepulauan Spratly, termasuk masing-masing di terumbu karang Subi dan Mischief. (Detik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar