Ketegangan di kawasan rawan konflik, Laut China Selatan, meningkat drastis kemarin (27/10), akibat manuver Amerika Serikat. Militer Negeri Paman Sam itu mengirim kapal penghancur USS Lassen mendekati kepulauan Spratly, wilayah hasil reklamasi pemerintah China.
Kapal ini sempat mencapai jarak 12 mil laut dari terumbu karang Subi, di pinggir Spratly. Akibat kehadiran kapal itu, China langsung menyiagakan kapal perang mereka untuk membuntuti USS Lassen.
Kapal perang AS ini dianggap Beijing, sebagai "aksi sepihak yang berupaya memiliterisasi kawan Laut China Selatan," tulis Kementerian Pertahanan China dalam situs resminya, seperti dilansir USA Today.
"China mendesak AS menghormati posisi China, segera memperbaiki kesalahan ini, dan tidak mengambil langkah berbahaya atau provokatif di masa mendatang yang dapat mengancam kedaulatan dan kepentingan nasional China," imbuh keterangan tertulis Beijing.
Hanya beberapa jam setelah manuver USS Lassen dilaporkan ke pemerintah pusat, Wakil Menteri Luar Negeri China Zhang Yesui memanggil Duta Besar AS Max Baucus di Ibu Kota Beijing. Menurut Yesui, tindakan kapal perang itu "sangat tidak bertanggung jawab."
Pejabat Kementerian Pertahanan AS membenarkan sengaja mengirim kapal perang ke wilayah sengketa itu. Alasan mengirim USS Lassen adalah memancing reaksi Negeri Tirai Bambu, sekaligus menegaskan hak setiap bangsa berlayar secara bebas di Laut China Selatan.
"Operasi memang sudah dimulai... rencananya pemantauan ini hanya berlangsung dalam beberapa jam," kata salah satu petinggi militer AS yang menolak disebut namanya kepada Kantor Berita Reuters.
Dia menjelaskan bahwa kegiatan USS Lassen di Laut China Selatan berjalan lancar. Pejabat Pentagon itu membantah bila ada pengusiran kapal mereka oleh armada China.
Bukan hanya mengirim kapal, armada AS yang diperintahkan berpatroli di jarak 12 mil dari Spartly adalah pesawat pemantau Angkatan Laut P-8A, serta mungkin diikuti pesawat P-3.
Beredarnya informasi ini semakin membuat China geram. Secara geopolitik, Negeri Tirai Bambu tidak pernah mengizinkan siapapun melewati teritorial Spratly.
Selama dua tahun terakhir, kapal perang China kerap mengusir kapal nelayan dari Vietnam, Filipina, ataupun Brunei Darussalam yang mendekati Kepulauan Spratly. Laporan intelijen AS menyebutkan Bejing tengah membangun pangkalan militer di pulau buatan itu. Alhasil, negara sekutu seperti Taiwan dan Filipina meminta AS terlibat lebih aktif di Laut China Selatan untuk mengimbangi manuver China.
Juru Bicara Gedung Putih, Josh Earnest, menolak berkomentar apa pun mengenai insiden kapal kemarin. Dia menyerahkan tanggung jawab klarifikasi kepada Pentagon.
Kendati demikian, Earnest mengatakan AS memandang pentingnya arus perdagangan bebas bisa terwujud di Laut China Selatan kepada Negara Tirai Bambu itu. Secara tidak langsung, Negeri Adi Daya ini meminta China tidak melanjutkan klaim teritorial yang agresif.
Selain salah satu jalur perdagangan utama dunia, Laut China Selatan sangat kaya sumber daya hayati laut serta migas. Potensi ekonomi per tahunnya minimal USD 5 triliun (setara Rp 682 triliun). Pemerintah Tiongkok punya doktrin bahwa 90 persen perairan itu milik mereka sejak era kekaisaran.
Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Taiwan menolak doktrin China. Negara-negara ini turut mengajukan klaim wilayah di perairan tersebut ke Dewan Landas Kontinen PBB.
Filipina sejak Juli lalu, sudah mengadukan China ke Mahkamah Internasional, di Kota Den Haag, Belanda. Mahkamah Internasional berusaha menentukan negara paling berhak atas 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Spratly. (Merdeka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar