Rabu, 18 Maret 2015

Tiongkok Tingkatkan Anggaran Militer, Benarkah Ada ‘Kompetisi Senjata’ di Asia?


Seorang pejabat tinggi Tiongkok baru saja mengumumkan bahwa Tiongkok akan meningkatkan anggaran militernya sebesar sepuluh persen tahun ini. Pernyataan tersebut memperpanas isu mengenai kompetisi senjata Asia, yang berpotensi memicu perang regional. Namun, bagaimana jika ternyata ‘kompetisi senjata’ tersebut bukanlah kompetisi senjata yang sesungguhnya?.

Tiongkok Tingkatkan Anggaran Militer, Benarkah Ada ‘Kompetisi Senjata’ di Asia?

Beberapa media kerap menyebutkan bahwa Asia Timur secara bertahap tergelincir memasuki konflik militer regional karena Tiongkok terus meningkatkan kapabilitas militernya dan mendorong negara-negara kecil tetangganya untuk melakukan reaksi serupa. Asia dilanda lingkaran setan ‘dilema keamanan’: saat sebuah negara meningkatkan sistem keamanan nasionalnya, ia menjadi ancaman bagi musuh-musuhnya dan mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama. Ketegangan semacam ini menjadi pertaruhan bagi semua pihak, memaksa salah satu dari mereka untuk menghentikan lingkaran setan tersebut, misalnya dengan memutuskan untuk menghancurkan fasilitas pertahanan negara lain.


Bukankah hal ini yang tengah dialami oleh Asia Timur? Tidakkah menjadi masuk akal bagi Tiongkok yang terpaksa mengerem pertumbuhan militer di Vietnam atau Filipina sebelum salah satu dari mereka berhasil memiliki angkatan laut yang memadai untuk mempertahankan klaimnya di area perairan yang disengketakan di Laut Cina Selatan? Selain itu, ini adalah konfirmasi empiris mengenai peningkatan pengeluaran militer di antara negara-negara di wilayah tersebut, yang secara khusus menakutkan dalam kasus Tiongkok dengan kemajuan teknologi yang pesat. Sekarang ini, Beijing dapat sesumbar mengenai anggaran militer terbesar kedua di dunia, bahkan jika kita mengabaikan spekulasi bahwa angka resmi jauh lebih kecil dari angka yang sebenarnya.

Namun, para ahli berpandangan, ini tidak mengindikasikan ‘peluru akan segera meluncur’. Hanya karena Tiongkok meningkatkan anggaran belanja senjata dan tentara, bukan berarti mereka ingin segera berperang. Secara teori, kita baru perlu khawatir saat pemerintah mulai mengorbankan anggaran dasar yang fundamental seperti pembangunan infrastruktur atau kesejahteraan sosial untuk membeli tank dan kapal perang. Dengan kata lain, peningkatan anggaran militer hanya berbahaya jika hal tersebut secara signifikan tak seimbang dengan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Namun jika kita melihat jumlah anggaran pertahanan negara-negara Asia berbanding rasio PDB mereka, garisnya terbilang cukup datar.

Dalam dekade terakhir, wilayah Asia berkembang dengan tempo yang sangat pesat, dan secara ekonomi mereka kini mampu menyisihkan anggaran militer dengan lebih memadai. Tapi sebenarnya, sebagian anggaran tersebut dihabiskan untuk memperbaharui senjata usang. Selain itu, Asia juga masih menghadapi masalah korupsi yang sangat serius.

Sebagian orang mungkin mengatakan pandangan ini sebagai optimisme buta. Bukankah lebih banyak senjata berarti akan lebih banyak kehancuran? Namun, dengan pertumbuhan industri yang sangat pesat, perang justru akan menggerogoti anggaran para pihak yang terlibat. Maka, negara yang terlihat ‘mempersenjatai’ dirinya malah ingin menghindari konflik satu sama lain karena negara-negara di sekitarnya pun telah memiliki sistem persenjataan yang baik, yang dapat saling menghancurkan satu sama lain.

Kesimpulannya, peningkatan kapabilitas militer dapat—secara paradoks—menjadi faktor penjaga stabilitas di Asia Timur, dengan menciptakan tekanan yang setara dalam sistem keamanan internasional. Namun, keseimbangan ini harus dijaga oleh peraturan untuk menghindari ‘kekeliruan institusional’. Masalahnya, Asia masih kekurangan mekanisme ‘penyetelan’, dan itu menjadi lubang besar dalam sistem keamanan regional mereka.

Apa jadinya jika semua orang punya senjata, tapi tak ada penjaga? (RBTH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar