Parlemen Jordania meloloskan mosi yang menyebut Israel telah melanggar traktat perdamaian kedua negara dan menuntut Duta Besar Israel di Amman diusir. Mosi yang didukung sebagian besar anggota majelis rendah Parlemen Jordania itu dibuat sehari setelah Parlemen Israel memulai sesi debat untuk memaksakan kedaulatan Israel atas kompleks Masjid Al Aqsa di Jerusalem.
Salah satu anggota Parlemen Jordania, Khalil Attieh, mengatakan, sebanyak 86 dari total 150 anggota majelis rendah parlemen, Rabu (26/2), menyetujui mosi untuk mengusir Duta Besar Israel di Amman, Daniel Nevo.
”Langkah Israel jelas telah melanggar traktat perdamaian. Ini adalah agresi terhadap hak Jordania,” demikian salah satu isi mosi tersebut.
”Semua anggota parlemen yang menghadiri rapat hari ini untuk membahas debat di Israel terkait kedaulatannya di Al Aqsa setuju untuk mengusir Duta Besar Israel dan menarik Duta Besar Jordania di Israel (Walid Obeidat),” ujar Attieh kepada kantor berita Agence France Presse (AFP).
Mosi parlemen itu tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat Pemerintah Jordania harus menjalankannya. Namun, Attieh mengancam akan mendorong mosi tidak percaya terhadap pemerintah jika tidak ada aksi apa pun atas perkembangan di Parlemen Israel (Knesset) tersebut.
Mosi ini dibuat sehari setelah 47 anggota Parlemen Jordania menandatangani mosi lain yang mendesak Pemerintah Jordania membekukan perjanjian perdamaian dengan Israel.
Pangkal permasalahan ini adalah langkah Knesset untuk memulai sesi debat terkait status kompleks Masjid Al Aqsa di Jerusalem, Selasa malam. Debat yang digagas para anggota sayap kanan parlemen tersebut membahas tuntutan agar Pemerintah Israel mengakhiri larangan bagi warga Yahudi untuk berdoa di dalam kompleks Al Aqsa.
Selama ini, Pemerintah Israel melarang warga Yahudi memasuki kompleks Masjid Al Aqsa untuk menghindari pecahnya konflik terbuka dengan warga Muslim. Namun, warga Yahudi garis keras, yang menganggap lokasi itu juga tempat suci mereka, menuntut hak untuk menjalankan ibadah di dalam kompleks tersebut.
Moshe Feiglin, anggota Knesset dari Partai Likud—partai Perda Menteri Benjamin Netanyahu, menyebut ketakutan Israel tersebut adalah bentuk diskriminasi terhadap warga Yahudi.
Sesi debat itu berakhir tanpa pemungutan suara atau keputusan apa pun. Namun, reaksi keras langsung datang dari Palestina dan Jordania.
Reaksi keras
Selasa pagi, pecah bentrokan di kompleks Al Aqsa antara polisi Israel dan puluhan demonstran Palestina yang memprotes rencana debat itu. Sebanyak 15 demonstran terluka terkena tembakan peluru karet polisi Israel, sementara tiga pemrotes ditahan.
Kepala misi diplomatik Palestina di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, Feda Abdelhady-Nasser, langsung mengirim surat protes ke Dewan Keamanan, Majelis Umum, dan Sekretaris Jenderal PBB.
Abdelhady-Nasser mendesak DK PBB menaruh perhatian serius pada ”hasutan, provokasi, dan agresi Israel yang dilakukan dengan sengaja untuk memprovokasi sensitivitas warga Palestina, Arab, dan Muslim serta bisa memicu dampak yang luas dan sangat berbahaya” ini.
Kompleks Masjid Al Aqsa, yang merupakan tempat suci ketiga bagi umat Islam, menjadi pusat ketegangan dalam sejarah konflik Arab-Israel. Israel merebut kawasan Kota Tua Jerusalem dari Jordania pada Perang Enam Hari 1967 dan sejak itu menduduki lokasi tempat kompleks Masjid Al Aqsa berada tersebut. Pendudukan ini tak pernah diakui dunia internasional.
Dalam traktat perdamaian Jordania-Israel tahun 1994, Jordania mendapat hak untuk memelihara dan mengelola semua situs tempat suci umat Islam di kawasan Jerusalem tersebut. Debat di Knesset itu dipandang sebagai upaya awal untuk mengingkari traktat perdamaian dan memaksakan kedaulatan Israel atas kompleks Al Aqsa. (Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar