Rabu, 20 November 2013

Tragedi Fukushima Merupakan Operational Default, Bukan Bencana Alam


Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute

Kerahasiaan dan ketertutupan yang menyelimuti pemerintah Jepang dan komunitas nuklir Jepang terkait dampak kebocoran nuklir Fukushima, pernyataan Kasuhiko Yamashita dalam kapasitasnya sebagai eksekutif perusahaan Tokyo Electric Power (TEPCO), menarik untuk disorot karena bertentangan dengan pernyataan  Perdana Menteri Shinzo Abe yang menegaskan bahwa krisis PLTN Fukushima masih bisa dikendalikan.


Padahal menurut Yamashita, kondisi PLTN Fukushima “tak terkendali.” Tentu saja dengan tak ayal pernyataan Yamashita kemudian dibantah oleh pemerintah Jepang maupun TEPCO. Dengan mengatakan bahwa yang dimaksud Yamashita itu terkait dengan pengelolaan air yang teradiasi nuklir dan bukan situasi PLTN Fukushima pada umumnya.

Bantahan pihak pemerintah Jepang yang sangat tidak meyakinkan. Yang lebih aneh lagi, Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga yang merupakan orang kepercayaan Shinzo Abe, secara sepihak menuduh pernyataan Yamashita karena adanya tekanan dari Partai Demokratik Jepang yang merupakan partai oposisi terhadap pemerintahan Shinzo Abe. Lagi-lagi, sebuah bantahan yang tidak meyakinkan, dan terkesan bermaksud mengalihkan isu dampak bencana ke ranah politik.


Maka itu, pernyataan Yamashita harus dibaca sebagai indikasi yang semakin memperkuat pandangan berbagai kalangan bahwa kebocoran nuklir Fukushima pada hakekatnya memang cukup parah.

Betapa tidak. Berdasarkan perkembangan terakhir, tingkat radiasi nuklir Fukushima, Jepang meningkat tajam. Sehingga tingkat keparahan bencana nuklir Fukushima mencapai level 6 dari total level 7 yang ditetapkan oleh Andre-Claude Lacoste, head of France’s nuclear safety authority. Sementara itu, untuk bencana Three Mile Island mendapat  level 5 dan untuk Chernobyl mendapat peringkat 7. Maka tidak berlebihan jika Chernobyl yang terjadi di Ukraina, dengan demikian merupakan bencana nuklir paling parah sepanjang sejarah.

Dari catatan Taufik Arifianto yang secara khusus menulis perbandingan tiga bencana nuklir berskala dunia, bencana Chernobyl 10 kali lipat lebih parah daripada Fukushima. Namun bencana Fukushima 10 kali lebih parah daripada bencana di Three Mile Island, yang terjadi di  Dauphin County, Pennsylvania pada 1979.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Lake Barret, yang mengatakan bahwa proses mengatasi kebocoran nuklir Fukushima jauh lebih sulit daripada becana di Three Mile Island.

Perbandingan Bencana Nuklir  di Pelbagai Belahan Dunia

Untuk menggali lebih lanjut perbandingan ketiga bencana berskala dunia tersebut, catatan Taufan Arifianto di blognya  http://taufanarifianto.wordpress.com/2011/04/14/perbandingan-bencana-nuklir-fukushima-chernobyl-dan-three-mile-island/ kiranya bermanfaat untuk sekadar sebagai gambaran umum.

Apa yang terjadi di Three Mile Island? Reaktor Three Mile Island meledak pada 28 Maret 1979. Ledakan disebabkan oleh adanya peralatan reaktor yang mengalami malfungsi sehingga membuat proses pendinginan uranium tidak berjalan sempurna. Hal ini menyebabkan melelehnya lapisan pelindung Uranium tersebut. Maka,  terjadilah bencana nuklir.

Bencana Chernobyl terjadi di Ukraina pada 1986,  akibat meledaknya empat pembangkit setelah uji coba. Ledakan tersebut  disebabkan oleh kerja reaktor yang terlalu dipaksa sehingga menghasilkan panas yang melebihi daya tampung. Ledakan terjadi pada reaktor No.4. karena reaktor ini tidak berpelindung, maka material nuklir banyak berharmburan keluar yang salah satunya berakibat rusaknya berhektar-hektar hutan di daerah sekitarnya gara-gara terjadinya kebakaran selama 9 hari di daerah sekitar lokasi.

Adapun semburan radiasi dari reaktor nuklir Chernobyl ternyata 100 kali lebih dahsyat daripada bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Menurut versi Badan Energi Atom Internasional(IAEA), kecelakaan Chernobyl tersebut telah menewaskan 4 ribu orang.

Sedangkan Taufan Arifianto, dalam catatannya, punya cerita berbeda. Akibat dari bencana Chernobyl ini adalah: 31 pekerja dan pemadam kebakaran mati dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Bukan itu saja.  4000 anak-anak-remaja terkena kanker tiroid setelah mengkonsumsi susu yang tercemar radioaktif Iodin I-131.

Meski berbeda versi, namun fakta-fakta seputar bencana Chernobyl yang 10 kali lipat lebih parah daripada bencana Fukushima, kiranya sudah cukup untuk menggambarkan potensi bahaya penyebaran dampak kebocoran reaktor nuklir Fukushima, untuk menyebar ke Samudra Pasifik. Dan mengkontaminasi produk-produk makanan laut Jepang, seperti tergambar melalui fakta adanya 4 ribu anak-anak remaja terkena kanker tiroid setelah mengkonsumsi susu yang tercemar radioaktif Iodin I-131.

Maka masuk akal jika berkembang kekhawatiran bahwa akibat sebaran radiasi radioaktif reaktor nuklir Fukushima, berpotensi mengkontaminasi produk-produk makanan laut yang berasal dari daerah-daerah yang lokasinya berdekatan dengan tempat terjadinya bencana. Sehingga pemerintah Korea Selatan sempat mengeluarkan larangan impor makanan laut dari Jepang.

Adapun bencana Fukushima terjadi disebabkan oleh kerusakan elemen reaktor No.1 dan No.2 karena diterjang Tsunami. Dalam bencana Fukushima ini, sempat terjadi beberapa kali ledakan reaktor yang menyemburkan partikel radioaktif ke udara sejauh ratusan kilometer.

Ledakan reaktor yang menyemburkan radioaktif ratusan kilometer ke udara inilah yang kemudian bermuara pada kesimpulan bahwa dampak radiasi radioaktif reaktor nuklir diperkirakan 6 juta kali lipat dari tingkat normal.

Dari beberapa catatan terkait terjadinya bencana ledakan atau kebocoran nuklir, memang selalu menyebabkan timbulnya berbagai penyakit yang cukup serius pada warga masyarakat yang bermukim di dekat lokasi bencana.

Misalnya dalam kasus Windscale di Inggris pada 1957, ketika inti pembangkit nuklir pertama Inggris terbakar yang berakibat lepasnya material radioaktif ke udara, peristiwa naas tersebut telah menyebabkan 240 kasus penyakit kanker.

SL-1 Experimental Power Station - Idaho, Amerika Serikat, pada 3 Januari 1961. Kejadian ini terjadi di pembangkit listrik uji coba 3 megawatt yang dikenal dengan istilah Stationary Low Power Plant No. 1 atau disingkat SL-1. Terjadi karena human-error, di mana 3 orang operator yang merupakan tentara, salah dalam menarik batang kendali (control rod) sejauh 50 cm saat akan memulai menghidupkan reaktor, padahal ditarik sejauh 40 cm saja sudah sangat berbahaya.

Akibatnya reaktor nuklir mengeluarkan 20.000 megawatt tenaga hanya dalam waktu 0,01 detik dan akibatnya reaktor meleleh dan meledak. Ketiga orang tentara Amerika Serikat tadi meninggal dunia.

Sellafield - Cumbria, Inggris. Pada PLTN ini sudah terjadi 5 kali bencana dengan INES rating 4 yaitu sejak 1955 sampai 1979. Sellafield merupakan tempat terjadinya bencana pada peringkat 4 di atas, yaitu Windscale Fire.

Bahkan di Jepang, beberapa tahun sebelum terjadinya tragedi Fukushima, pada kasus Tokaimura pada 1999, sejumlah uranium pengayaan tingkat tinggi yang dipersiapkan oleh para pekerja yang tak memenuhi syarat, kemudian memicu reaksi nuklir. Akibanya, dua orang tewas. Namun yang lebih parahnya lagi, ada sekitar 100 pekerja dan penduduk terancam terkontaminasi radioaktif.

Kejadian ini terutama akibat kekurang tahuan cara menangani uranium. Mereka bertugas mempersiapkan uranium tersebut untuk rektor nuklir yang sudah tidak dipergunakan selama 3 tahun. Karena kesalahan prosedur timbul reaksi nuklir yang menyebabkan radiasi sewaktu proses pencampuran suatu larutan dengan uranium. Dua dari tiga orang pekerja meninggal dunia dan hampir seratus orang dirawat di rumah sakit akibat radiasinya. Sekitaran 161 orang dalam radius 300 m dari lokasi kejadian harus diungsikan karena kejadian ini.

Kembali ke kasus Fukushima, beberapa liputan berita beberapa media tak lama setelah terjadinya bencana, menggambarkan betapa radiasi yang dilepaskan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi mempunyai dampak jangka panjang merusak lingkungan hidup di daerah sekitarnya.

Bahkan 30 hari setelah bencana Fukushima pada 11 Maret 2011,  ohon, burung, dan mamalia yang tinggal di hutan terpapar radiasi dengan dosis 100 kali lebih besar dari batas aman. Adapun biota laut, seperti ikan dan alga terpapar radiasi 1000 kali lebih besar.

Tentu saja ini bukan pengamatan sepintas lalu atau mereka-reka belaka. Ini merupakan hasil temuan para ahli dari French Institute of Radioprotection and Nuclear Safety (ISRN) setelah meneliti sampel dosis radiasi. Sampel diambil dari tanah kawasan hutan yang terletak 25-45 kilometer barat laut Fukushima. Peneliti juga mengambil sampel dari kawasan laut yang terletak dekat dengan reaktor. Seluruh bahan penelitian diambil pada akhir Maret.

Terkait potensi terjadinya kontaminasi terhadap produk makanan laut Jepang, temuan tim ahli Thomas Hinton, kiranya penting untuk jadi bahan pertimbangan. Sebab menurut hasil perhitungan memperlihatkan organisme laut, seperti ikan pari, moluska, udang, dan rumput laut coklat di lepas Pantai Fukushima terpapar radiasi yang berpotensi meningkatkan risiko kematian.

Bahkan organisme darat, meski dosisnya lebih kecil, amun tetap saja berpotensi menghambat keberhasilan proses reproduksi burung, binatang pengerat, dan pohon.

Mempelajari sejarah dari kejadian ini, program pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir memang cukup berbahaya meski dimaksudkan untuk tujuan damai. Karena itu, regulasi untuk mengatur dan menjamin keamanan dan keselamatan pada reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir tersebut, mutlak adanya. Sehingga terjadinya kebocoran reaktor nuklir Fukushima atau bencana-bencana nuklir yang sejenis dengan itu, harus dianggap sebagai Operational Default dan Human Error, yang secara sadar dan sengaja para pengelola di PLTN  mengabaikan rejim pengaturan terkait keselamatan dan keamanan di seputar reaktor nuklir yang sesuai dengan standar peraturan internasional. Sehingga tanggungjawab sepenuhnya ada di tangan pemerintah Jepang dan para stakeholders terkait.  Sehingga tidak bisa kita pandang semata-mata sebagai force major atau bencana alam yang berada di luar kendali manusia.  


Sumber : GFI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar