Rabu, 20 November 2013

Mini drone PD-100 Black Hornet Personal Reconnaissance System Mesin Spionase AS Terbaru


Berita mengenai penyadapan Amerika Serikat (AS) terhadap beberapa negara di dunia memang sungguh menggemparkan. Soal spionase, mari kita lupakan kasus Edward Snowden sejenak dan beralih ke topik yang cukup teknikal.

Mini drone PD-100 Black Hornet Personal Reconnaissance System Mesin Spionase AS Terbaru

Baru-baru ini sebuah mesin spionase terbaru ditampilkan ke publik Amerika untuk pertama kalinya dalam pameran Association of the United States Army Expo di Washington D.C. Militer Amerika Serikat memang baru-baru ini meminta bantuan kepada Prox Dynamics, sebuah perusahaan Norwegia yang bergerak di jasa perlengkapan spionase militer untuk merancang salah satu mesin spionase super mini yang pernah ada.

Mini drone bernama PD-100 Black Hornet Personal Reconnaissance System tersebut adalah alat spionase militer. Beratnya hanya 16 gram dan bentuknya terlihat seperti helicopter mainan mini. Sengaja dibuat kecil dan praktis supaya mudah dibawa seorang tentara ke medan pertempuran.


Sejak tahun lalu, sebenarnya para tentara Inggris yang bertugas di Afganistan telah menggunakan Black Hornet dalam berbagai misi – mulai dari mengintai rute serangan mendadak musuh hingga mengintip dibalik tembok.

“Kami menggunakan (Black Hornet) untuk mengecek posisi penembak dan mengecek tempat terbuka. Sungguh ini aset yang berguna,” ucap Sergeant Christopher Petherbridge dari Brigade Reconnaissance Force Inggris, kepada Associated Press.

Namun tidak semua tentara dapat bermain-main dengan helicopter mini tersebut. Seperti dilansir LiveScience.com, Ole Aguirre, Wakil Presiden Pemasaran dan Penjualan untuk Prox Dynamic AS mengatakan bahwa drone tak berawak ini diciptakan untuk unit khusus yang membutuhkan “mata-mata di langit, tak terdeteksi, cepat dan taktikal.”

Menurut keterangan tentara yang bekerja dengan Black Hornet, drone ini dikabarkan tak bersuara dan tak terdeteksi di ketinggian 10 meter. Menteri Pertahanan Inggris menyampaikan kepuasan dari Brigade Reconnaissance Force karena drone tersebut “sangat mudah untuk dioperasikan serta menawarkan banyak kapabilitas menarik di medan pertempuran.”

Satu set PD-100 yang dibawa seorang tentara berisi dua buah Black Hornet, stasiun mini untuk isi ulang baterai, remote control dan mobile device (dengan layar kaca 7 inchi) untuk memantau apa yang direkam Black Hornet. Semua perlengkapanya waterproof dan memiliki berat total 1.3 kg.

Untuk menjalankannya, cukup masukkan koordinat GPS dan drone otomatis akan pergi ke tempat tujuan. Sesampainya disana, kamera mengirim video dan gambar kembali pada pengguna. Adapun Black Hornet dapat terbang selama 20 -25 menit sebelum membutuhkan isi ulang baterai. Daya jelajahnya hanya terbatas sejauh 1,2 km sekali beroperasi.

Black Hornet ternyata masih memiliki kekurangan. Drone ini rupanya terlalu kecil untuk membawa mid-wave infrared camera (MWIR) sehingga pengintaian malam hari tak dapat dilakukan. “Sensor MWIR terkecil yang tersedia di pasaran sekarang adalah FLIR Quark, dan beratnya dua kali dari berat helicopter kami,” tutur Aguirre.

Menurut situs Flightglobal, militer Inggris sendiri telah memiliki 324 Black Hornets dalam kekuatan militernya. Namun teknologi muktahir seperti ini tidak datang dengan harga murah. Situs Geek.com melansir bahwa melalui perjanjian kontrak, harga 160 drone Black Hornet berharga US$ 31.4 juta. Namun hal ini mungkin cukup wajar, mengingat teknologi ini membuat pengguna menguasai informasi medan pertempuran dan mengurangi jatuhnya korban jiwa akibat jebakan musuh maupun serangan mendadak. (AH/Kompasiana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar