Saat banyak negara bersiap menyambut bulan suci Ramadan dengan damai awal pekan ini, Mesir justru harus menghadapinya di tengah suasana mencekam. Krisis politik di Mesir belum berakhir, bahkan negara itu terancam terjebak perang saudara, seperti yang sudah mendera Suriah dalam dua tahun terakhir.
"Saya mungkin akan terpaksa mengucilkan diri di rumah hingga semua pihak bersedia emban tanggungjawab untuk melindungi rakyat dan mencegah negara ini dari perang saudara," kata El-Tayeb dalam pernyataan yang disiarkan stasiun televisi pemerintah Mesir, dan juga dikutip kantor berita al-Ahram Senin kemarin.
Sehari sebelum Imam Besar El-Tayeb melontarkan kegundahannya, masyarakat internasional pun sudah melihat kekhawatiran akan ancaman perang saudara di Mesir. Presiden Rusia, Vladimir Putin, turut khawatir akan eskalasi konflik di negara itu.
"Suriah sudah berada dalam cengkeraman perang saudara...dan Mesir kini sedang bergerak ke arah yang sama," kata Putin di tengah lawatannya ke Kazakhstan seperti dikutip kantor berita Rusia, RIA Novosti.
Lalu sejumlah media asing sudah memaparkan potensi ancaman perang saudara di Mesir. Salah satunya harian The Jerusalem Post, yang mengingatkan bahwa huru-hara di Mesir bisa saja berakhir seperti yang dialami tetangganya, Aljazair, 20 tahun lalu.
Perang saudara di Aljazair dimulai setelah militer setempat ikut campur dalam gelanggang politik dengan menghentikan jalannya putaran kedua Pemilu pada Januari 1992.
Partai Islam terbesar di Aljazair - Fron Penyelamat Islam - saat itu di ambang kemenangan Pemilu setelah unggul pada putaran pertama pemungutan suara. Namun, langkah mereka dihentikan paksa oleh militer dan berlanjut ke perang saudara selama sekian tahun yang menewaskan sekitar 200.000 orang. "Sepertinya ini bisa terjadi juga di Mesir," tulis koran Israel itu.
Imam Besar El-Tayeb pantas khawatir akan potensi perang saudara di Mesir sebab bangsanya belum menemukan titik terang dalam mengatasi krisis. Masyarakat internasional turut cemas atas masa depan Mesir, yang masih belum pulih dari krisis ekonomi setelah menumbangkan rezim Hosni Mubarak lewat pergolakan berdarah pada Februari 2011.
Pertentangan sektarian dan politik antara kelompok Islam konservatif yang diwakili Ikhwanul Muslimin, yang berada di atas panggung kekuasaan sejak Morsi menang Pemilu 2012, dengan golongan liberal-sekuler yang beroposisi semakin tajam. Krisis pun semakin parah karena militer kembali terlibat dalam perpolitikan dengan mengkudeta Presiden Mursi, membekukan konstitusi, dan menunjuk pemimpin sementara, Adli Mansour.
Bahkan jumlah korban jiwa dalam seminggu terakhir akibat konflik itu malah bertambah. Kudeta militer atas Presiden Mohamed Mursi dan penunjukkan Hakim Adli Mansour sebagai pemimpin sementara untuk segera mempersiapkan Pemilu ternyata tidak langsung menjamin konflik segera berakhir.
Para pendukung Morsi yang juga simpatisan dan kader kelompok Ikhwanul Muslimin - yang mendukung Mursi - sejak Jumat pekan lalu terus berdemonstrasi menentang kudeta militer di Kairo dan kota-kota besar lainnya di Mesir.
Tanggapan brutal dari militer Mesir, dengan menembaki para demonstran di Kairo sehingga menewaskan 51 jiwa dan melukai 435 orang pada Senin kemarin dan merenggut nyawa tiga jiwa dan mencederai puluhan pemrotes di kota yang sama pada Jumat pekan lalu, ternyata tidak menyurutkan nyali para pendemo.
Bahkan seorang demonstran, Hamdi el-Said, menyatakan akan tetap membela Mursi, presiden pilihannya pada Pemilu lalu. "Saya akan terus mempertahankan pilihan saya hingga mati syahid, seperti mereka yang dibunuh kemarin," kata el-Said seperti dikutip stasiun berita BBC. Penembakan itu digambarkan sebagai suatu pembantaian atas orang-orang tidak bersalah.
Militer tidak diam saja. Mereka beralasan terpaksa menembak karena sebelumnya telah diserang gerombolan bersenjata pada Senin pukul 4 dinihari, kata juru bicara militer Kolonel Ahmed Ali. Penyerangan berlangsung di pos keamanan markas pasukan Garda Republik, yang juga menjadi lokasi unjuk rasa.
Penyerang mengira markas itu menjadi tempat tahanan bagi Mursi dan pimpinan Ikhwanul Muslimin. Menurut Ali, penyerangan itu menyebabkan dua polisi dan seorang tentara tewas setelah terjadi baku tembak dan delapan personel luka-luka.
Segera Pemilu
Entah klaim siapa yang benar, nyatanya belum ada pihak di Mesir yang maju untuk menawarkan solusi damai. Semua pihak yang bertikai saling menyalahkan dan saling klaim bahwa pihak mereka sebagai korban.
Sebagai pemimpin sementara yang tidak dipilih rakyat, Presiden Mansour sadar bahwa salah satu cara untuk mengatasi konflik adalah segera menyiapkan pemilu untuk memilih parlemen dan pemimpin baru.
Menurut kantor berita Reuters, Mansour telah mengeluarkan dekrit baru yang menargetkan bahwa pemilu parlemen harus terselenggara dalam jangka waktu enam bulan. Setelah itu segera diselenggarakan Pemilu Presiden.
Namun, sebelum pemilu parlemen terselenggara, Mansour juga harus mengupayakan referendum untuk menyetujui sejumlah amandemen konstitusi Mesir, yang pemberlakuannya dicabut sementara waktu setelah militer mengkudeta Presiden Mursi Rabu pekan lalu. Referendum ini juga harus terselenggara dalam jangka waktu enam bulan.
Belum ada kata sepakat dari partai-partai politik terkait dekrit terbaru dari Presiden Mansour, hakim ketua Mahkamah Konstitusi yang baru dilantik jadi kepala negara sementara Mesir sehari setelah kudeta militer. Masalahnya, tidak gampang untuk membujuk massa Ikhwanul Muslimin untuk berkompromi padahal mereka saat ini adalah kelompok politik paling berpengaruh di Mesir.
Para aktivis Ikhwanul masih geram atas perlakuan militer Mesir kepada mantan Presiden Mursi dan pimpinan kelompok mereka, yang ditahan sejak kudeta. Mereka menilai militer menerapkan langkah yang inkonstitusional, dengan secara paksa menyingkirkan presiden yang dipilih secara sah melalui Pemilu demokratis pertama di Mesir pada 2012.
"Tidak ada yang memilih presiden ini," kata seorang simpatisan Ikhwanul, Ashraf Awad, seperti dikutip BBC. "Dia secara tidak sah disumpah jadi pemimpin, jadi semua keputusan yang dia buat tidak akan diakui rakyat," lanjut Awad.
Ikhwanul Muslimin sejak dulu memang sudah jadi anak tiri, diberangus sejak pemerintahan Gamal Abdel Nasser di tahun 50an hingga Hosni Mubarak di tahun 2000an.
Namun, seorang pejabat Ikhwanul Muslimin mengatakan, upaya pemberantasan Ikhwanul Muslimin kali ini lebih parah. "Ini bahkan lebih parah bagi kami dibandingkan saat berada di bawah kepemimpinan Mubarak," kata Amr Darrag, dilansir The Independent pekan lalu.
Hal yang sama sempat disampaikan Mohamed Badie, ketua Ikhwanul Muslimin Mesir, hari Minggu lalu. Pemerintahan Mansour menangkapi para petinggi Ikhwanul Muslimin, persis seperti yang dilakukan Mubarak beberapa tahun lalu.
"Rezim tidak sah yang berdiri melalui kudeta terus melakukan kampanye keamanan yang digunakan pada rezim Mubarak, dengan menangkap Al-Shater, wakil ketua IM, Sheikh Hazem Salah Abu-Ismail, anggota parlemen Mohamed Al-Omda, dan juga mantan ketua parlemen Dr Mohamed Saad Katatni dan Dr Rashad Bayoumi, wakil ketua Ikhwanul Muslimin," kata Badie dalam pernyataannya, dilansir dari Ikhwanweb.com, situs resmi Ikhwanul Muslimin. (Viva News)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar