Media massa dan masyarakat internasional mulai menyoroti "sikap aneh" Amerika Serikat terhadap konflik di Mesir. Dalam krisis Mesir, AS tampak tidak konsisten dalam menerapkan prinsip sebagai negara pejuang demokrasi di penjuru dunia.
Namun, atas kekisruhan di Mesir, AS tidak langsung buru-buru menyatakan bahwa penggulingan kekuasaan atas Presiden Mohamed Mursi oleh militer pekan lalu merupakan kudeta. Padahal insiden itu terlihat nyata. Mursi, yang jelas-jelas dipilih secara konstitusional melalui Pemilu demokratis pertama di Mesir pada 2012, digulingkan secara terbuka oleh militer setelah berhari-hari muncul demonstrasi dari kalangan oposisi yang menuntut turunnya Mursi dari jabatan presiden.
Dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain, AS selalu menekankan penegakkan demokrasi sebagai kunci derajat hubungan dengan negara yang bersangkutan. Namun, walau selalu mempromosikan demokrasi, AS malah berdiam diri atas kudeta militer itu, yang terjadi lebih dari seminggu lalu. Presiden Barack Obama masih hati-hati untuk melontarkan sikap resmi atas apa yang terjadi di Mesir dalam satu pekan terakhir, termasuk pembantaian atas 51 orang dalam suatu demonstrasi terhadap militer di Kairo Senin kemarin.
Baru juru bicaranya saja yang berkomentar mengenai situasi di Mesir. "Ini adalah isu yang kompleks dan rumit, dengan konsekuensi yang signifikan," kata Jay Carney seperti dikutip USA Today awal pekan ini.
Carney mengemukakan alasan mengapa AS tidak langsung bereaksi keras atas situasi di Mesir, termasuk tak segera menyatakan peristiwa Rabu pekan lalu sebagai kudeta. Menurut dia, banyak pula warga Mesir tidak yakin bahwa tergulingnya kekuasaan Presiden Mursi akibat kudeta.
Banyak pemrotes, terutama dari kubu yang beroposisi atas kelompok Ikhwanul Muslimin pendukung Mursi, menyatakan bahwa mereka merestui aksi militer dan langkah militer diperlukan untuk menindak pemerintahan yang cenderung kian otoriter.
Washington pun tidak langsung mengecam militer pimpinan Abdel Fattah al-Sisi atas aksinya yang menggulingkan Mursi, dan belakangan ini juga bertindak brutal dengan membantai puluhan orang pendukung Mursi dan Ikhwanul Muslimin dalam unjuk rasa di Kairo.
Menurut Carney, pemerintah AS masih mengevaluasi bagaimana pihak berwenang di sana menanggapi dan menangani situasi terkini. "Kami menyerukan semua pihak untuk menahan diri... Militer Mesir harus menahan diri menghadapi para pemrotes," kata Carney.
Namun, dia juga melontarkan pernyataan yang mengundang keraguan atas sikap obyektif AS, yaitu dengan mengecam "seruan-seruan eksplisit untuk berbuat kekerasan yang dilontarkan Muslim Brotherhood (Ikhwanul Muslimin)," kata Carney.
Cenderung memihak
Sikap ini mengundang pertanyaan apakah AS memang berat sebelah ke militer Mesir, sekaligus tidak mendukung Presiden Mursi yang dipilih secara demokratis. Jawaban atas pertanyaan itu mulai terlihat saat muncul kabar bahwa AS akan tetap melanjutkan rencana mengirim empat jet tempur F-16 ke Mesir dalam beberapa pekan mendatang.
Kepada kantor berita Reuters, sejumlah sumber anonim dari pihak Pentagon (Departemen Pertahanan) Rabu kemarin menyatakan bahwa rencana itu bakal tetap terlaksana walau militer Mesir menggulingkan kekuasaan Presiden Mursi.
Sebagai juru bicara kepresidenan AS, Carney tidak mau berkomentar banyak soal pengiriman F-16 ke Mesir. "Kami memandang jangan buru-buru mengubah program bantuan kami [ke Mesir]," kata Carney, yang selanjutnya meminta jurnalis untuk menghubungi Pentagon bila ingin menanyakan isu itu lebih lanjut.
Selain empat unit, yang akan datang Agustus mendatang, delapan pesawat lagi akan diantar ke Mesir Desember 2013. Ini merupakan bagian dari paket pesanan 20 unit jet F-16 dari AS ke Mesir. Delapan pesawat sudah dikirim sebelumnya.
Jet-jet tempur itu dikabarkan sudah dipesan militer Mesir sebelum kudeta atas Mursi. Mesir merupakan negara Arab pertama yang membeli F-16 dari AS. Bagi Washington, jual beli F-16 itu merupakan salah satu simbol hubungan baik dengan Mesir dalam lebih dari 30 tahun terakhir. Selain proyek jet tempur, AS dan Mesir bersama-sama memproduksi tank tempur M1A1.
Namun, terkait perkembangan di Mesir, Pentagon pada Rabu waktu setempat menyatakan bahwa Presiden Obama sudah memerintahkan pengkajian kembali bantuan AS selama ini ke Negeri Piramid itu. "Berdasarkan peristiwa dalam sepekan terakhir, Presiden telah memerintahkan sejumlah departemen dan lembaga terkait untuk mengkaji bantuan kami ke pemerintah Mesir," demikian pernyataan Pentagon seperti dikutip Reuters.
Bagi AS, Mesir adalah sekutu strategis dari kalangan negara Arab di Timur Tengah setelah berdamai dengan Israel pada 1979. Militer Mesir pun berhubungan erat dengan Washington. Bahkan Jenderal al-Sisi, tokoh kunci kudeta atas Mursi, meraih gelar master dari US Army War College di Pennsylvania.
Sikap militer Mesir sangat strategis bagi kepentingan Washington di Timur Tengah, termasuk dalam mengimbangi tekanan dari negara-negara Arab kepada sekutu utamanya, Israel, maupun atas berbagai isu di kawasan.
Tidak heran bila setiap tahun militer Mesir menerima porsi besar dari bantuan rutin AS sebesar US$1,5 miliar. Menurut Reuters, untuk tahun fiskal 2013 yang berakhir September, AS sudah mencairkan bantuan senilai US$650 juta kepada militer Mesir. Bantuan lain, yakni sebesar US$585 juta masih belum cair.
Namun, semua bantuan itu bisa langsung dihentikan bila AS resmi menyatakan bahwa peristiwa yang menimpa Presiden Mursi itu adalah kudeta. Hukum di AS melarang pemerintah memberi bantuan ke negara yang pemimpinnya, yang dipilih melalui pemilu, dijungkalkan oleh kudeta militer.
Bila pemerintah AS masih berhati-hati menanggapi krisis di Mesir, tidak demikian halnya dengan sejumlah politisinya. Senator John McCain dari Partai Republik dan sejumlah politisi lain sudah menilai apa yang terjadi di Mesir pekan lalu jelas merupakan kudeta.
Mereka pun menganjurkan Washington agar menangguhkan bantuan kepada Mesir untuk sementara waktu, bila tujuannya menekan militer Mesir agar memenuhi janji menggelar pemilu baru secepatnya melalui pemerintahan sementara yang direstui militer.
McCain, seperti dikutip USA Today, menyatakan jangan sampai rakyat Mesir tidak lagi percaya dengan demokrasi akibat kudeta itu. "Bila jutaan rakyat Mesir sudah merasa bahwa demokrasi ternyata tidak menawarkan peluang untuk mewujudkan kepentingan mereka secara damai, maka hanya akan memicu kekerasan dan ekstremisme," kata McCain. (Viva)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar