"UAV dengan segala perkembangannya memang telah dan terus terjadi sampai hari ini dan ke depan. Namun untuk fungsi MPA dan sistem lain terkait yang lebih kompleks, UAV masih belum bisa menggantikan pesawat terbang MPA ini," kata VP Bisnis Unit Airborne Saab, Joakim Mevius, menjawab wartawan antaranews.com, di sela Singapore Air Show 2016, Rabu.
Saab sebagai salah satu produsen sistem pertahanan dari Swedia pada Singapore Air Show 2016 mengenalkan beberapa sistem mereka, di antaranya sistem GlobalEye (pengembangan jauh lebih canggih ketimbang pendahulunya, EriEye), dan Swordfish MPA, sebagai kesatuan sistem patroli udara maritim.
Sejak awal disadari oleh kalangan penginderaan dan pengamatan pada dunia kemiliteran bahwa untuk patroli maritim, masalah ketahanan operasional dalam jangka waktu lama —baik dari sisi pesawat terbang ataupun manusia pengawaknya— menjadi hal krusial yang harus dipecahkan.
Demikian juga dengan ketinggian jelajah operasional, dengan prinsip penting: presisi dan ketepatan data yang diperoleh ada pada ketinggian rendah.
Swordfish MPA diberi motto See First Act First, yang memang menjadi semboyan banyak konsep dan doktrin pertahanan modern pada perang masa kini. Peran sektor digital dan pengolahan data digital menjadi sangat sentral, dan sensor-sensor dan sistem analisis tentang ini menjadi medan perang tersendiri di kalangan pabrikan alat-alat pertahanan dunia.
Sebagai misal, rasar AESA 360 derajad dengan moda multi fungsi, sistem penjejakan data akustik, head-up display bersensor optik electronik/infra merah dengan panduan laser terpadu, dan sistem misi sistem C4, komunikasi satelit yang mumpuni, dan opsi data link, dan sebagainya dibenamkan dalam sistem Swordfish MPA ini.
Produk akhirnya adalah peningkatan dalam hal kesiapsiagaan dan kewaspadaan lingkungan maritim operatornya, yang diinginkan lebih unggul ketimbang lawan. Inilah sebabnya, kata Melvius, pijakannya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu memakai pesawat jet bisnis Bombardier Global 6000 atau Bombardier Dash 8 Q400 yang berbaling-baling.
Istimewa pada Bombardier Global, yang diberi empat cantelan untuk menggantungkan senjata pamungkas torpedo anti kapal permukaan dan kapal selam, sehingga dia juga bisa melaksanakan operasi preemptif jauh dari pangkalannya.
Dilihat dari data teknis yang diberikan, sistem Swordfish MPA berbasis Bombardier Global ini memiliki jarak operasi hingga 4.400 mil laut, kecepatan maksimal 450 knot/jam, dan ketinggian hingga 37.000 kaki dari permukaan laut, serta lama penerbangan misi hingga belasan jam.
“Namun harap diingat bahwa ketinggian rendah menjadi kunci jawaban atas tuntutan hasil pengamatan yang akurat dan analisis yang bisa dijadikan pegangan. Operasi pesawat terbang MPA kebanyakan ada pada ketinggian rendah,” katanya.
Pesawat terbang militer UAV (Unmanned Aerial Vehicle) saat ini memang sudah sangat canggih dan mematikan. Contohnya adalah MQ-9 Reaper dari General Atomics, Amerika Serikat, yang dikatakan sebagai pijakan penting dalam misi intelijen, pengamatan, dan penyerbuan terbatas yang sebelumnya banyak dilakukan pesawat terbang militer konvensional.
Perang Dingin menghasilkan banyak lompatan teknologi, di antaranya teknologi pengamatan dan intelijen jarak jauh, dengan produk-produknya semisal SR-71A Blackbird dari Lockheed, dan U-2 Dragonlady.
Namun kehilangan pilot —karena kecelakaan misi atau malah ditembak jatuh lawan— jelas hal yang sangat merugikan, karena mereka terbang jauh di belakang garis pertahanan lawan. Mereka disandera dan menjadi materi kampanye yang sangat menguntungkan lawan.
UAV membantu mencegah hal ini terus terjadi.
Akan tetapi, untuk misi patroli maritim, ceritanya bisa sangat berbeda. Laut menjadi wilayah yang jauh dari pengamatan manusia secara langsung namun justru menjadi arena pertarungan kepentingan dan wahana yang sangat kompleks, rumit, dan menentukan. Bisakah diramalkan kehadiran kapal selam hanya dengan mengandalkan pengamatan visual?
Untuk itulah maka hadir pesawat terbang militer dengan kemampuan patroli maritim, dengan fungsi utama pada masa-masa awalnya adalah mendeteksi kehadiran kapal-kapal perang lawan di permukaan.
Dan lalu dikembangkan menjadi patroli anti kapal selam dengan penerapan subsistem deteksi akustik melalui ambangan (buoy) yang ditarik atau dilepas begitu saja namun mampu memancarkan gelombang hasil tangkapan alat itu.
Akan tetapi, kemudian cukup jarang sistem MPA yang mampu melakukan misi dengan multi kemampuan, mulai dari anti kapal selam, SAR maritim, kontra terorisme dari laut, anti pembajakan dan penyelundupan, dukungan pasukan dan operasi khusus, pemantauan ZEE, hingga menghalau anasir yang membahayakan kepentingan nasional operatornya.
“Berbagai alat dan subsistem yang terlibat untuk itu sangat banyak, rumit, besar, dan berat. Inilah yang menyatakan, mengapa UAV belum bisa dijadikan pijakan pokok menggantikan pesawat terbang militer MPA,” kata Mevius.
Perkenalkan sistem MPA Swordfish
Banyak sudah jajaran produksi pesawat patroli maritim yang dibuat berbagai pabrikan pesawat terbang dunia. Pada Singapore Air Show 2016 kali ini, Saab dari Swedia mengenalkan kepada publik sistem pesawat patroli maritim, Swordfish MPA, yang dibangun pada dua tipe pijakan yang berbeda sama sekali.
Laiknya sistem pesawat patroli maririm, maka Swordfish MPA mampu beroperasi pada berbagai ketinggian jelajah dalam waktu lama sehingga keperluan para pengawak pesawat terbang dan operator menjadi hal pokok juga bagi Saab.
Selain itu, sistem Swordfish MPA ini mampu juga menangkal kehadiran anasir berbahaya kepentingan nasional, kapal selam, karena ada dudukan torpedo di sayapnya.
"Dengan dua pijakan ini maka kostumer bisa memilih sesuai keperluan dan doktrin militer yang mereka anut. Selain mampu menjalankan fungsi patroli berdurasi lama maka Swordfish MPA juga bisa untuk tugas SAR, dan perang kapal permukaan dan kapal selam secara bersamaan," kata Kepala Dukungan Bisnis Saab, Jonas Hjelm.
Yang unik, Swordfish MPA dibangun pada dua tipe pijakan —secara mudah bisa saja diartikan sebagai dua tipe pesawat terbang— produk Bombardier buatan Kanada, yaitu Bombardier Q400 berpendorong baling-baling, dan Bombardier Global 6000 bermesin jet.
Dengan demikian, kata Hjelm, operator bisa menjalankan misinya di mana saja di wilayah perairan, baik itu di perairan dangkal litoral hingga samudera terbuka yang sangat jauh dari pangkalannya.
"Kami memiliki kemampuan unik dalam memadukan sistem pada berbagai pijakan dan kami memilih bekerja sama dengan Bombardier untuk memberi pijakan ini di Swordfish MPA," kata dia.
Dalam lini produksinya, Saab memiliki berbagai divisi, yaitu pesawat transport sipil, pesawat tempur, sistem persenjataan atas dan bawah permukaan laut, kapal perang, dan kapal selam, serta sistem pengamatan dan sistem radar.
"Hingga 2020 nanti, diperkirakan akan terdapat sekitar 100 kapal selam beroperasi di Samudera Pasifik. Ini menjadi peluang bagi kami tentang pengoperasian pesawat terbang patroli maritim," katanya. (Antara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar