Amerika Serikat mendesak China mengakhiri "bisnis seperti biasa" dengan sekutunya, Korea Utara, setelah Pyongyang menantang kekuatan dunia dengan mengklaim telah meluncurkan uji coba bom hidrogen.
Menteri Luar Negeri AS, John Kerry menyatakan dia mempaparkan hal tersebut dengan jelas dalam pembicaraan melalui telepon dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi. Kerry mengungkapkan bahwa pendekatan China kepada Korea Utara belum berhasil.
"China memiliki pendekatan tertentu yang ingin mereka lakukan [terhadap Korut]. Kami setuju dan menghormati mereka dan memberi mereka ruang untuk melaksanakannya. Hari ini, saya bercakap dengan China, dan menjelaskan bahwa [pendekatan] itu belum berhasil dan kita tidak dapat melanjutkan bisnis seperti biasa," kata Kerry, Kamis (7/1).
China merupakan negara pendukung ekonomi dan diplomatik utama Korut meskipun hubungan antara kedua sekutu Perang Dingin ini renggang dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut data yang dikumpulkan oleh Asosiasi Perdagangan Internasional Korea Selatan, sebagian besar transaksi bisnis Korea Utara dilakukan dengan China, yang membeli 90 persen ekspor dari negara yang terisolasi itu pada 2013.
Korea Utara melakukan uji coba bom hidrogen di bawah tanah pada Rabu (6/1), mengejutkan publik internasional soal pengembangan nuklir di negara pimpinan Kim Jong Un itu. Meski demikian, pemerintah AS dan pakar senjata meragukan klaim Pyongyang bahwa uji coba bom hidrogen itu berhasil.
Uji coba nuklir ini juga membuat geram Amerika Serikat dan China, yang tidak menerima pemberitahuan sebelumnya.
Kerry mengungkapkan bahwa dia dan Wang setuju bekerja sama untuk menentukan sejumlah langkah yang bisa diambil terkait soal uji coba nuklir Korut yang mengkhawatirkan.
Kerry menilai Amerika "tegas dan terus berkomitmen untuk keamanan regional dan nonproliferasi global."
Pada Kamis pagi, belum ditemukan bukti peluncuran bom hidrogen tersebut, seperti partikel di udara, yang dapat memperkuat klaim Korea Utara.
Korea Utara juga mengklaim pihaknya mampu membuat miniatur bom hidrogen, yang dapat ditempatkan pada rudal dan mengancam Pantai Barat AS, Korea Selatan dan Jepang.
Demokrat dan Republik bersatu
Sejumlah pejabat DPR dari Partai Republik maupun Demokrat satu suara untuk mendesak perluasan sanksi terhadap Korea Utara, usai uji coba nuklir Korut yang mengejutkan publik internasional pada pekan ini.
Kepala Demokrat di DPR, Nancy Pelosi, menegaskan Demokrat akan mendukung RUU yang membahas perluasan sanksi kepada Korea Utara, yang kemungkinan besar akan diperundingkan pada pekan depan. Sumber Kongres mengungkapkan RUU ini akan dibahas pada Senin mendatang.
RUU ini telah disahkan oleh Komite Urusan Luar Negeri DPR AS pada Februari lalu, tapi terhenti hingga Pyongyang tiba-tiba meluncurkan uji coba nuklir bawah tanah pada Rabu (6/1)
Sanksi yang akan dirumuskan di DPR AS akan menargetkan sejumlah bank yang
memfasilitasi program nuklir Korea Utara, dan membekukan sejumlah aset AS yang terhubung langsung dengan aktivitas terlarang Korea Utara.
Sanksi itu juga akan menghukum mereka yang terlibat dalam bisnis dengan mata uang Korea Utara.
"Kami memahami rencana kepemimpinan Republik untuk mendorong RUU perluasan sanksi AS terhadap Korea Utara. Ini akan mendapat dukungan bipartisan yang kuat," kata Pelosi, sembari menambahkan "kita akan mendukungnya."
Hingga kini belum jelas bagaimana sanksi yang lebih kuat dapat menghalangi Korea Utara untuk melakukan aktivitas nuklir. Pasalnya, negara pimpinan Kim Jong Un ini telah melakukan empat uji coba nuklir sejak 2006 tanpa mengindahkan tekanan internasional.
Amerika Serikat dan negara sekutunya, Korea Selatan hanya dapat meluncurkan respon militer yang terbatas terhadap Korea Utara. Ketika Korut meluncurkan perangkat nuklir pada 2013, Washington mengirimkan sepasang jet pembom siluman B-2, berkemampuan nuklir yang terbang di atas Korea Selatan sebagai aksi unjuk kekuatan. Saat itu, Korea Utara merespon dengan mengancam serangan nuklir terhadap Amerika Serikat.
Uji coba nuklir ini juga membuat Jepang khawatir. Perdana menteri, Shinzo Abe, setuju dengan Presiden AS Barack Obama dalam pembicaraan telepon soal diperlukannya respon global terkait hal ini. Obama juga membahas hal ini dengan Presiden Korsel, Park Geun-hye.
Juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest menyatakan belum ada pembicaraan dengan Korea Selatan mengenai sistem pertahanan yang disebut Terminal High Altitude di Area Defense (THAAD), langkah yang ditentang oleh China.
"Belum ada diskusi atau konsultasi dengan Korea Selatan" tentang penyebaran kemampuan anti-rudal balistik," kata Earnest.
Sistem ini memiliki radar yang dapat melacak beberapa rudal balistik hingga 2.000 km, hingga mencapai China. (CNN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar