Rabu, 11 Februari 2015

Afganistan Bisa Menjadi Tempat Perlindungan ISIS


Afganistan dalam bahaya. Negara itu dapat berubah menjadi tempat perlindungan para ekstremis Islam saat Barat menarik pasukannya dan menggeser perhatiannya ke tempat lain. Seorang mantan pejabat senior CIA memperingatkan hal itu, Selasa (10/2/2015) waktu AS.

Negara itu bahkan dapat menjadi tempat perlindungan bagi para militan Negara Islam atau ISIS yang sekarang berperang di Suriah dan Irak, kata Robert Grenier, mantan Kepala Stasiun CIA di Islamabad dan penulis sebuah buku baru.


Taliban yang digulingkan pada 2001 oleh pasukan AS, selama 12 tahun terakhir terus memerangi pemerintah Kabul yang disokong negara-negara Barat.

Memoarnya yang berjudul 88 Days to Kandahar mengisahkan pengalamannya yang mengerikan saat berperan dalam menggulingkan rezim Taliban di Afganistan pada 2001 setelah serangan 11 September.


Grenier mengemukakan bahaya bahwa Afganistan bisa menjadi tempat perlindungan bagi kelompok militan ISIS, dalam sebuah acara yang diselenggarakan lembaga think tank New America. Dia mengatakan, Taliban Afganistan tidak akan siap untuk menolak sekutunya di Taliban Pakistan atau kelompok ekstremis lainnya, seperti Negara Islam atau ISIS, jika mereka meminta perlindungan. "Ada sejumlah kelompok di Pakistan yang punya dedikasi untuk menyerang rezim di Islamabad. Mereka tidak akan pergi," katanya.

Menurut Grenier, Taliban cenderung melihat hal-hal dalam pandangan hitam dan putih, menentukan keputusan melalui pertanyaan, "Apakah itu dibolehkan oleh Islam atau tidak, dan mereka tidak akan menolak orang-orang yang secara ideologis bersekutu dengan mereka di seberang perbatasan. Saya juga tidak percaya mereka akan berpaling dari teroris internasional, jika sekali lagi mereka kembali ke wilayah itu dalam jumlah yang signifikan."

Menyasar pemimpin Taliban

Buku Grenier menggambarkan bagaimana pesawat AS gagal menghabisi pemimpin Taliban, Mullah Omar, pada 2001, dan bagaimana Hamid Karzai hampir tewas secara tidak sengaja dalam sebuah serangan bom Amerika. Dia juga menjelaskan tawaran terakhir untuk menegosiasikan kesepakatan dengan orang nomor dua Taliban, beberapa hari setelah serangan 9/11. Saat itu, Grenier berusaha membujuk orang itu di sebuah hotel di Pakistan untuk memutuskan hubungan dengan Omar dan melakukan kudeta. Upaya tersebut gagal.

Mantan perwira CIA itu mengatakan, ia skeptis bahwa sejumlah upaya untuk menengahi pembicaraan damai dengan Taliban akan berhasil karena para pemberontak masih yakin bahwa mereka dapat menggulingkan pemerintah dan mengambil kembali kekuasaan di Kabul. Dia juga mengatakan, kelompok itu tidak cocok untuk kekuasaan politik atau mengambil bagian dalam politik parlemen.

Grenier, yang naik ke posisi senior lainnya di CIA sebelum meninggalkan lembaga itu tahun 2006, mengatakan, bukunya menceritakan bagaimana Amerika dengan cepat memenangkan apa yang ia sebut "perang Amerika-Afganistan pertama" tahun 2001, dan "bagaimana kami kalah, atau setidaknya tidak menang, dalam perang Amerika-Afganistan kedua."

Buku itu berakhir dengan peringatan tentang "bagaimana kesalahan masa lalu belum dapat ditinjau ulang ketika kami sekali lagi mungkin terlibat dapa apa yang disebutnya sebagai perang Amerika-Afganistan ketiga."

Grenier mengatakan, ia takut bahwa Amerika Serikat dan pemerintah Barat lainnya akan gagal menyalurkan bantuan keuangan ke Kabul setelah tentara mereka pergi dan meninggalkan Pemerintah Afganistan.

Bukunya menawarkan pandangan yang sangat suram tentang warisan yang ditinggalkan setelah perang lebih dari satu dekade melawan gerilyawan Taliban di negeri itu. (Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar