Wartawan lepas Perancis, Sigolene Vinson, menyaksikan langsung serangan keji yang terjadi di kantor majalah satire Charlie Hebdo, Rabu (7/1/2015). Ketika itu, dia pun berpikir riwayatnya akan segera tamat.
Wartawan lepas Perancis, Sigolene Vinson |
Vinson datang pada pagi itu untuk ikut rapat redaksi, ketika dua orang dengan pakaian komando warna hitam dan berpenutup wajah, sambil menenteng senapan serbu AK-47, menerjang pintu lalu membunuh orang-orang di sekitar meja. Vinson menjatuhkan diri ke lantai dan merangkak menyusuri lorong untuk bersembunyi di balik partisi. Namun, salah satu dari dua orang bersenjata itu melihat dirinya dan meraih lengannya, lalu menodongkan senjata ke kepala perempuan itu.
Alih-alih menarik pelatuk, teroris itu kemudian berkata, "Saya tidak akan membunuhmu karena kamu seorang perempuan. Kami tidak membunuh perempuan."
Pria bersenjata itu kemudian meninggalkannya sembari memberi peringatan, "Kamu harus memeluk Islam, bacalah Al Quran dan tutup tubuhmu," kenang Vinson atas kejadian itu. Setelah itu, dia menambahkan, teroris tersebut berseru, "Allahu akbar, Allahu akbar!"
Tanpa diketahui Vinson, beberapa menit sebelumnya, seorang rekan perempuan yang lain, yaitu kartunis Corinne Rey, mengalami pertemuan serupa dengan orang-orang bersenjata yang menewaskan 12 orang itu, termasuk Stephane Charbonnier, editor majalah satire tersebut. Rey baru saja menjemput putrinya dari tempat penitipan anak dan sedang menekan kode keamanan di pintu untuk memasuki gedung ketika dua orang itu menarik dirinya dan dengan brutal memaksa perempuan itu membukakan pintu.
Mereka tidak menembak Rey. Kedua teroris itu justru mengarahkan senjata ke penjaga keamanan Frederic Boisseau yang duduk di meja penyambutan tamu. Rey pun terhindar dari kematian. Kedua orang itu mengatakan bahwa mereka tidak akan menembak seorang perempuan.
"Itu berlangsung sekitar lima menit," kata Rey, yang terguncang dan takut. "Mereka berbicara bahasa Perancis dengan fasih dan mengaku berasal dari Al Qaeda."
Keputusan untuk tidak melukai perempuan itu muncul bahkan saat kaum militan yang aktif di Timur Tengah secara rutin membunuh orang, termasuk perempuan dan anak-anak, yang tidak mematuhi Islam versi mereka.
Laporan-laporan tentang serangan di kantor Charlie Hebdo itu, yang telah mengejutkan Perancis dan telah menyedot dukungan kuat bagi media yang bebas di seluruh dunia, datang saat berbagai rincian tentang pembantaian itu muncul.
Laurent Leger, seorang wartawan lain yang hadir saat serangan itu, juga mengingat bagaimana para teroris menyisir ruangan untuk mencari target, tetapi melewatkan dirinya. "Saya hanya punya waktu untuk menyembunyikan diri di bawah sebuah meja kecil di sebuah celah sempit. Saya meringkuk di sana dan melihat rekan-rekan saya tergeletak di lantai," katanya kepada media Perancis.
"Saya beruntung bahwa ruangan itu begitu kecil sehingga pria bersenjata tersebut tidak bisa dengan mudah berjalan di sekitar meja untuk melihat ke sisi belakangnya. Ada keheningan yang panjang, kemudian saya mendengar dia melangkah pergi. Saat dia pergi, saya mendengar dia mengatakan kepada seorang perempuan di newsroom, "Kami tidak ingin membunuh perempuan." Dia kemudian berbincang sebentar dengan seorang pria lain dan saat itulah saya menyadari bahwa mereka berdua."
Pencarian terhadap dua tersangka serangan itu, yaitu dua bersaudara Cherif Kouachi dan Said Kouachi, terus berlangsung di utara Paris. Cherif Kouachi, 32 tahun, pernah ditahan tahun 2005 ketika dia hendak meninggalkan Perancis menuju Suriah. Di Suriah, dia ingin mendapatkan latihan tempur guna melawan Amerika terkait keterlibatan Amerika dalam invasi Irak tahun 2003.
Belakangan ini, dia tinggal bersama tersangka lainnya, yaitu saudaranya sendiri Said, 34 tahun, di rumah seorang mualaf di Paris, di mana dia kadang-kadang melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil, seperti menjadi pengantar pizza dan sebagai pelayan toko.
Belum diketahui apakah kedua tersangka pernah berada di luar Perancis untuk bergabung dengan jaringan militan. Namun, yang pasti, kedua tersangka itu terlatih dalam penggunaan taktik komando dan senjata api, dan bahwa mereka menyiapkan dengan rinci misinya untuk menyerang kantor Charlie Hebdo itu. (Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar