Rabu, 12 Maret 2014

”Omong Kosong” Para Pemimpin Dalan Konflik Crimea


DALAM artikel yang ditulis secara lugas di majalah Time edisi 17 Maret 2014, wartawan kawakan yang juga analis politik internasional Fareed Zakaria melukiskan secara tersirat bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin adalah seorang pemimpin dunia yang terjebak oleh sejarah. Seorang pemimpin dunia memang kadang terperangkap pada kejayaan masa lalu. Sayangnya dalam kasus Putin dan Crimea, penguasa Kremlin itu melihat masa lalu dengan amarah.

”Omong Kosong” Para Pemimpin Dalan Konflik Crimea

Mengutip Henry Ford—pendiri Ford Motor Company—Zakaria mengatakan, ”That is history. But history is a bunk.” Sejarah adalah kenyataan, tetapi juga sebuah ”omong kosong”.

Satu bulan terakhir, sejak krisis Ukraina meletus hebat dengan tumbangnya Viktor Yanukovych dan invasi tentara Rusia ke Semenanjung Crimea, dunia dibodohi oleh ”omong kosong” para pemimpin dunia. Pemicu seluruh bunk yang menggoyahkan tata diplomasi dunia, dan lebih mengkhawatirkan merusak perdamaian ini, tentu saja dipicu oleh Putin.


Dari rumah mewahnya di wilayah eksklusif di pinggiran Moskwa, Putin berbicara kepada sejumlah kecil wartawan Kremlin tentang situasi Ukraina, khususnya Republik Otonom Crimea. Pendeknya, Putin berupaya meyakinkan dunia bahwa personel bersenjata yang menguasai Crimea adalah kelompok milisi lokal dan grup bela diri setempat. Tanpa perlu menjadi analis kelas dunia, orang paling awam pun paham, orang-orang bersenjata canggih dengan pakaian militer lengkap itu adalah militer ”Beruang Merah” di bawah komando Kremlin.

Sejak dikukuhkan menjadi Presiden Rusia untuk kedua kalinya pada Mei 2012, agenda utama Putin memang mengembalikan sejarah kejayaan Uni Soviet sebagai bos besar di kawasan Eropa Timur. Lewat gagasan Uni Eurasia, ambisi Putin terhambat oleh kelompok nasionalis Ukraina yang menentang Yanukovych, ”presiden boneka” Kremlin yang sudah terbeli oleh iming-iming talangan utang 15 miliar dollar AS. Oleh sebab itu, Crimea yang sejak 2008 sebagian anggota parlemennya kembali mewacanakan unifikasi dengan Rusia adalah jalan masuk pasca tumbangnya Yanukovych.

Putin memang terperangkap sejarah Crimea yang selama 300 tahun bergabung dengan Rusia sebagai hasil pampasan perang dengan Kekaisaran Ottoman. Dari semenanjung yang cantik inilah Rusia mengukuhkan diri sebagai salah satu kekuatan utama dunia di segala bidang.

Meski begitu, ”omong kosong” bukanlah dominasi Putin dalam krisis Ukraina. Para pemimpin negara-negara Eropa Barat pun sama. Pemimpin Jerman Kanselir Angela Merkel dan PM Inggris David Cameron pun terperangkap dalam ”omong kosong” diplomasi telepon. Jauh di lubuk hati para pemimpin itu perhitungan untung-rugi ekonomi terkait sanksi terhadap Rusia tetap menjadi pilar. Ini membuat nasib bangsa Ukraina diletakkan dalam konteks ekonomi, bukan konteks kedaulatan dan hukum-hukum internasional.

Jerman, mesin utama penggerak Uni Eropa, sulit mengelak dari kenyataan bahwa sepertiga kebutuhan gas dan minyak mereka datang dari Kremlin. Sebaliknya, Jerman juga punya aset perdagangan senilai 60 miliar dollar berupa ekspor mobil, mesin dan produk kimia ke Rusia. Inggris setali tiga uang. Sejak awal invasi Rusia ke Crimea, kantor Downing Street tampak ragu dalam wacana sanksi. Mereka tak ingin ratusan miliar dollar aset Rusia di pasar uang London terbang ke negara lain.

Pada akhirnya, nasib sebuah bangsa, kedaulatan sebuah negara bergantung pada tindakan para pemimpin dunia dengan segala kepentingannya. Nasib bangsa Ukraina terombang-ambing oleh ”omong kosong” para pemimpin dunia. (Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar