Pemerintah Krimea pada Minggu melakukan referendum untuk menentukan pilihan apakah akan berpisah dengan Ukraina dan bergabung dengan Rusia.
Sekira 1,5 juta orang diminta memberikan suara mereka di Krimea, semenanjung di Ukraina yang dihuni penduduk mayoritas etnis Rusia.
Pilihan yang dihadapkan kepada penduduk adalah apakah Krimea akan bergabung dengan Rusia atau tetap menjadi bagian dari Ukraina dengan mengambil lebih banyak kekuasaan, demikian seperti dilansir kantor berita AFP.
Tempat-tempat pemungutan suara dibuka pada pukul 06.00 GMT (13.00 WIB) dan ditutup pada 18.00 GMT (Senin, 01.00 WIB).
Referendum itu meningkatkan krisis keamanan di wilayah pinggir Eropa tersebut, menjadi seperti saat Perang Dingin.
Tiga aktivis tewas di kota sebelah timur, Donetsk dan Kharkiv, menjelang berlangsungya referendum di Krimea.
Ukraina saat ini berjaga penuh dan pada malam sebelum pemungutan suara berlangsung menuding pasukan Rusia menduduki sebuah desa di luar Krimea dengan mengatakan, "Ukraina memiliki hak untuk menggunakan semua langkah yang diperlukan guna menghentikan serangan militer oleh Rusia".
Krimea tidak akan secara otomatis bergabung dengan Rusia setelah pemungutan suara tersebut kendati para pejabat mengatakan mereka akan mengajukannya secara formal pekan ini.
Pemimpin lokal Sergiy Aksyonov pada Jumat mengatakan prosedur itu bisa menghabiskan waktu "paling lama satu tahun" dan telah berupaya meyakinkan rakyat Krimea bahwa kekacauan finansial dan hukum tidak akan terjadi setelah pemungutan suara.
Pemerintah Ukraina mengatakan Krimea tidak akan mampu berdiri sendiri, terutama karena wilayah itu memiliki ketergantungan atas listrik, energi dan persediaan air dari daratan Ukraina.
Namun Aksyonov dan tokoh-tokoh lainnya mengatakan mereka bisa dengan mudah mengatasi masalah tersebut dengan bantuan Rusia.
Sikap Barat
Negara-negara Barat menyatakan tidak akan mengakui hasil referendum sementara Moskow bersikeras bahwa pemungutan suara itu merupakan contoh penentuan nasib sendiri seperti yang terjadi pada Kosovo.
Washington mengabaikan pemungutan suara yang disebut dilakukan "di bawah todongan senjata" tersebut.
Sementara pemerintahan baru Ukraina menyebut referendum itu "tidak sah" dan khawatir Moskow sedang berupaya menghasut pemberontakan di wilayah-wilayah Ukraina timur yang condong ke Rusia.
Pasukan Rusia dan milisi-milisi proMoskow mengambil kendali semenanjung yang strategis itu setelah presiden Ukraina yang didukung Kremlin, Viktor Yanukovych, meninggalkan Kiev bulan lalu, menyusul unjuk rasa selama tiga bulan yang menentang kepemimpinannya.
Markas-markas militer Ukraina di kawasan itu --yang menjadi tempat pangkalan Armada Laut Hitam Rusia sejak abad ke-18-- berada dalam kepungan namun tidak ada bentrokan bersenjata.
Tidak jelas apa yang akan terjadi dengan markas-markas tersebut setelah pemungutan suara berakhir.
Para anggota parlemen Rusia telah memberika lampu hijau kepada Presiden Vladimir Putin untuk mencaplok Ukraina kapanpun ia mau, dengan mengacu pada pentingnya melindungi etnis Rusia dari kalangan radikal ultranasionalis. (Antara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar