Kamis, 29 Agustus 2013

Klimaks Krisis Politik Suriah


Sejumlah pejabat Amerika Serikat (AS) menegaskan bahwa masyarakat Suriah akan segera menghirup udara kebebasan dan alam demokrasi. Setelah rezim Ben Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), Moammar Khadafi (Libia), dan Abdullah Saleh (Yaman) tumbang, Assad menjadi presiden terlama dijatuhkan gerakan people power, setidaknya 7.000 jiwa rakyat Suriah tewas sia-sia, Assad telah dicap sebagai penjahat perang.

Klimaks Krisis Politik Suriah

Suriah, selama ini, memang masuk poros setan oleh AS, seperti juga Iran dan dulu Irak saat masih dikendalikan Saddam Hussein. Gejolak di Suriah dan negara-negara Arab lain sejatinya menghendaki supaya demokratisasi menjadi pilar utama. Rakyat sudah muak dengan kediktatoran yang terbukti penguasa hanya mementingkan dan memperkaya diri sendiri, sementara rakyat disengsarakan. Semua gejolak bermula dari krisis ekonomi dan sempitnya lapangan pekerjaan, menyeruaknya pengangguran, KKN yang menyemburat, sementara krisis pangan yang diikuti dengan kenaikan harga bahan pokok tak dapat dibendung. Saat itu pula, emosi rakyat semakin tak terkendali.


Rakyat semakin berani dan tak bisa mengendalikan diri sebagai akibat kesulitan dan impitan ekonomi, sementara para penguasa hidup dalam kesenangan dan glamouritas. Revolusi di Tunisia pada awal 2011 yang dikenal dengan Jasmine Revolution benar-benar menjadi inspirasi bagi negara-negara Arab lain untuk bergerak menumbangkan rezim. Gejolak demokrasi di Timur Tengah adalah tren baru, bukan Barat yang meniupkan tetapi murni gerakan people power, sama halnya saat gerakan sipil yang dimotori mahasiswa di Indonesia pada 1998 berhasil menumbangkan rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun lebih.

Itu sekaligus membuktikan tesis Samuel Huntington dalam The Third Wave Democratization (1997) bahwa gelombang ketiga pertumbuhan negara-bangsa, wacana dan praksis demokratisasi mendapatkan tempatnya kembali setelah gelombang pertama dan kedua pertumbuhan negara-bangsa agak kurang mengapresiasinya.

Pelbagai variabel yang menunjukkan gelombang demokratisasi yang meningkat itu, menurut Huntington, di antaranya seperti bertumbangannya rezim-rezim otoriter, peranan sipil yang menonjol menggantikan dominasi militer, terjadinya proses Pemilu secara jujur, adil dan transparan, serta tidak ada dominasi kepartaian, terbukanya kebebasan berpendapat yang direpresentasikan dengan kebebasan pers.

Tren demokratisasi yang berkembang itu memang sebelumnya kurang mendapat apresiasi di banyak negara Islam, khususnya di Timur Tengah. Laporan Freedom in the World 2000: The Democracy Gap menyatakan bahwa semenjak awal dekade ‘70-an ketika demokratisasi gelombang ketiga dimulai, di dunia Islam umumnya sangat begitu minim dalam mengapresiasi keterbukaan politik (political openess), kurang respek terhadap persoalan-persoalan HAM, serta kebebasan pers dan transparansinya yang tersumbat.

Celah demokrasi (democracy gap) antara dunia Islam dan tatanan negara-bangsa yang tengah dilanda gelombang ketiga demokratisasi terlihat sangat begitu dramatis (Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy, Singapura: Solstice, 2006).

Bayangkan, dari 192 negara-bangsa di dunia saat ini, 121 di antaranya telah melaksanakan pemilu secara demokratis. Tapi di negara-bangsa tempat muslim menjadi mayoritas hanya 11 dari 47 (atau hanya sebesar 23 persen) yang sudah membentuk pemerintahan secara demokratis. Padahal, di dunia non-Islam, 110 dari 145 negara (atau lebih dari 76 persen) telah melangsungkan pemilu secara demokratis. Kesimpulan dari laporan Freedom in the World 2000 menandakan bahwa negara-bangsa non-Islam lebih menyukai tatanan demokratis dibandingkan dengan negara-bangsa Islam.

Dari 31 negara-bangsa non-Arab, 11 di antaranya telah melaksanakan pemilu secara demokratis, sedangkan 16 dari negara-bangsa Arab; satu (Tunisia) masih menggunakan sistem presidensial yang otoriter; dua (Libia dan Irak) keduanya didominasi oleh sistem kepartaian yang diktator; empat (Aljazair, Mesir, Syiria, dan Yaman) adalah negara-bangsa dengan sistem kepartaian yang didominasi oleh partai tertentu, sedangkan sembilan negara-bangsa Arab masih menggunakan sistem kerajaan (monarki).

Fenomena yang menggambarkan titik-titik terang (bright spots) demokrasi di sebagian kecil negara-bangsa non-Arab namun muslim menjadi mayoritas seperti Indonesia, memang menunjukkan bahwa hubungan antara Islam sebagai sebuah ajaran (yang diwahyukan) dan demokrasi sebagai produk kreasi manusia masih memiliki dinamika tersendiri. Maksudnya demokrasi belum sepenuhnya diterima atau diaktualisasi sebagai suatu aturan main bagi terlaksananya tatanan negara-bangsa.

Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslims and Democratization (2000), mengatakan bahwa demokrasi bisa tumbuh di negara-negara Islam. Islam yang ditemukan melalui penelitiannya adalah contoh bagaimana Islam dan demokrasi tidak memiliki posisi yang saling berhadapan untuk meniadakan satu sama lain. Islam dan demokrasi bisa berjalan seiring karena keduanya memiliki roh yang sama dalam menghargai hak asasi manusia, kesetaraan, dan mendukung partisipasi masyarakat. Oleh Cak Nur (Nurcholis Madjid), hal itu kemudian disebut dengan terminologi Islam dengan masyarakat madani.

Cak Nur menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan civil society pernah dialami dunia Islam pada zaman Nabi Muhammad ketika membangun Kota Madinah sebagi sentrum peradaban Islam. Nabi saat itu membangun sebuah tatanan masyarakat yang egaliter, inklusif, dan menyejahterakan. Untuk itulah sebenarnya Islam memiliki nilai teologis dan ratusan eksemplar sejarah dalam menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis. Dengan dua faktor ini, sudah cukup bekal bagi negara-negara Islam di Timur-Tengah untuk menjalankan demokrasi. Pengalaman Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam relevan dengan nilai-nilai demokrasi.

Dengan gejolak demokrasi di Timur Tengah itu apakah Islam akan bergerak ke arah demokrasi dan menerima modernitas atau terus terjebak dalam radikalisasi dan ingatan ke masa lalu?

Pada saat ini, garis depan anarkisme terus menyeruak. Meskipun demikian, hasilnya pasti akan memunyai arti yang lebih menyeluruh. Munculnya Timur Tengah baru bisa merupakan peluang untuk menegakkan tatanan regional yang mencerminkan kepentingan sah semua pihak yang terlibat, memberikan batas-batas antarnegara yang aman, dan menggantikan aspirasi hegemoni dengan keterbukaan dan kerja sama. Jika tidak, atau jika peluang ini tidak segera direbut, maka Timur Tengah baru akan menjadi lebih berbahaya daripada Timur Tengah lama.*** (JK)


Oleh Ismatillah A Nu’ad
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar