Rabu, 26 November 2014

Risia Ingin Ketegangan AS-Tiongkok Mereda

Pada pertemuan APEC yang berlangsung di ibukota Tiongkok belum lama ini, AS dan Tiongkok telah menandatangani sejumlah perjanjian di bidang kemiliteran. Perjanjian tersebut dapat menurunkan risiko konfrontasi bersenjata antara kedua belah pihak di Asia Timur. RBTH mewawancarai sejumlah pakar Rusia untuk menelaah lebih jauh bagaimana keputusan dua negara adidaya tersebut akan memengaruhi situasi di wilayah itu. 

Risia Ingin Ketegangan AS-Tiongkok Mereda

Beijing dan Washington sudah sepakat untuk menginformasikan kegiatan militer skala besar satu sama lain. Kedua negara tersebut juga telah menyepakati kode etik terkait pertikaian obyek-obyek milik mereka yang berada di laut dan udara.

Kedua belah pihak memutuskan untuk menyetujui kesepakatan tersebut karena dalam beberapa waktu terakhir, jumlah insiden yang terjadi terus meningkat (terutama, tindakan Tiongkok yang memasukan wilayah Laut Cina Selatan ke dalam zona pertahanan udaranya), yang menempatkan Beijing dan Washington ke ambang konflik dan tidak akan menguntungkan pihak manapun.


“Secara teori, Tiongkok dan AS sama-sama tak membutuhkan perselisihan ini. Tiongkok akan menelan kekalahan dalam konflik militer bila itu terjadi, AS pun akan mengalami kerugian yang besar. Oleh karena itu, kedua belah pihak tertarik untuk menciptakan stabilisasi hubungan mereka,” terang Anggota Dewan Politik Luar Negeri dan Pertahanan Rusia Aleksander Gabuyev kepada RBTH.

Beberapa ahli politik cenderung menilai bahwa kesepakatan saat ini merupakan awal dari pembentukan nyata format hubungan Tiongkok-AS yang baru. “Pemerintahan Xi Jinping dan Barack Obama akan mencari model hubungan bilateral yang baru, yang membuat isu keamanan dan militer serta teknologi pencegahan konflik menjadi faktor utama di dalamnya. Keinginan tersebut terutama muncul  setelah pertemuan yang berlangsung di California pada Juni 2013 lalu. Perjanjian yang disepakati pada pertemuan APEC di Beijing ini dapat dinilai sebagai salah satu dari hasil awal proses tersebut,” papar Pimpinan Peneliti Institut Amerika dan Kanada Russian Academy of Sciences Sergey Trush kepada RBTH.

Ketegangan Berlanjut?

Kita tak perlu melebih-lebihkan “model baru” tersebut, karena model itu tak memaksa Tiongkok untuk menghentikan penerapan kebijakannya di wilayah Asia. “Kedua negara elit tersebut memiliki pengertiannya masing-masing mengenai benang merah negosiasi dan kriteria utama keamanan negara. Mereka akan pandangan mereka sendiri mengenai semua hal tersebut,” lanjut Sergey Trush. “Tiongkok akan melanjutkan tekanan ke negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, dan hal tersebut tidak dapat diterima oleh AS. Hal ini masih menciptakan potensi terjadinya pergesekan kepentingan,” ujar Aleksander Gabuyev.

Adapun nilai positif dari “model  baru” tersebut, menurut Wakil Direktur Pusat Penelitian Eropa dan Internasional Sekolah Tinggi Ekonomi Dmitry Suslov, adalah mengalihkan konflik AS dan Tiongkok menjadi “persaingan yang bersifat dewasa”. Kedua belah pihak akan menyadari fakta bahwa mereka merupakan musuh satu sama lain di bidang militer dan merupakan saingan utama, namun secara bersamaan mereka akan berusaha mengendalikan persaingan tersebut dan tidak mengizinkan satu sama lain utnuk melakukan eskalasi konflik yang tidak perlu, "Hal serupa terjadi dalam hubungan AS-Uni Soviet, ketika era 1960-an dilakukan perundingan kontrol terhadap persenjataan mereka,” kata Suslov.

Apa yang Diinginkan Kremlin?

Dampak dari normalisasi hubungan bilateral AS-Tiongkok bagi Rusia dapat dilihat dengan berbagai sudut pandang, tergantung filosofi politik apa yang dianut oleh para analis.

“Jika melihat situasi saat ini melalui konteks ”zero sum game”, maka dapat dimengerti bahwa penurunan tingkat konfrontasi antara Beijing dan Washington membatasi kesempatan Moskow, menghilangkan ruang bagi Moskow untuk bermanuver. Akan tetapi, jika melihat dari sudut pandang geoekonomi dan konsekuensi penurunan konfrontasi bagi seluruh wilayah Asia Pasifik, maka Moskow tanpa diragukan lagi, memperoleh kemenangan dari hal tersebut. Moskow mendapat kesempatan untik mendapatkan posisi dalam perekonomian Asia Pasifik, termasuk menarik investasi untuk modernisasi wilayah Dalniy Vostok, Timur Jauh Rusia,”kata Sergey Trush.

Moskow tidak hanya tertarik terhadap penurunan ketegangan antara AS dan Tiongkok, tetapi juga terhadap deeskalasi situasi di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan hingga ke tingkat yang dapat diterima semua pihak. “Jika Rusia berniat meningkatkan pengiriman migas ke Asia Pasifik, maka Rusia akan tertarik menggunakan jalur-jalur laut yang aman,” terang Aleksander Gabuyev.

Dmitry Suslov menyebutkan, ketika ketegangan hubungan AS-Tiongkok meningkat tajam, Rusia perlu mendukung Tiongkok dan itu dapat menyebabkan Rusia menjadi “adik” Tiongkok serta meruntuhkan upaya untuk membangun hubungan strategis dengan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara yang sebagian besar merupakan sekutu dan mitra AS. "Jika seandainya terjadi eskalasi ketegangan AS-Tiongkok, mereka akan berada di pihak Washington,” papar Suslov. (RBTH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...